The Crying Game (1992) : Cinta, Nurani dan Nasionalisme
... Nothing is what it seems to be.
Mengejutkan! Benar-benar mengguncang! Itulah pengalaman saya selama mengikuti jalan cerita film The Crying Game, terutama di bagian pertengahan menuju akhir.
Film ini cukup menuai kontroversi pada masanya, terlebih memenangkan Oscar untuk kategori Adaptasi Skenario Terbaik setelah dinominasikan di beberapa kategori lainnya.
Mengejutkan! Benar-benar mengguncang! Itulah pengalaman saya selama mengikuti jalan cerita film The Crying Game, terutama di bagian pertengahan menuju akhir.
Film ini cukup menuai kontroversi pada masanya, terlebih memenangkan Oscar untuk kategori Adaptasi Skenario Terbaik setelah dinominasikan di beberapa kategori lainnya.
Karena diberitakan melalui televisi dan surat kabar, film tersebut luput dari perhatian saya apakah sempat tayang di bioskop atau tidak, namun tema lagu yang dibawakan oleh Boy George dengan judul yang sama dengan melodi yang mendayu-dayu tersebut, tidak pernah lupa dari memori saya kala itu.
Lirik lagunya dalam dan penuh makna, sesuai dengan tema film itu sendiri yang mengisahkan cinta, nurani dan nasionalisme yang dialami oleh karakter utamanya.
Latar belakang film The Crying Game yakni ketika masih terjadi konflik di wilayah Irlandia Utara yang ingin merdeka dan independen dari Inggris Raya, melalui berbagai gerilya yang dilakukan oleh Provisional Irish Republican Army atau yang populer disebut IRA.
Kisah The Crying Game berpusat pada karakter Fergus (Stephen Rea), seorang relawan tentara IRA. Bersama dengan rekan-rekannya, termasuk Jude yang dikoordinir oleh Maguire, mereka menjebak dan menculik seorang tentara Inggris bernama Jody di sebuah rumah.
Namun Jody tewas saat melarikan diri ketika akan dieksekusi mati oleh Maguire. Tak lama kemudian sebuah pesawat membom rumah tersebut yang menyebabkan mereka terpencar, termasuk Fergus yang tiba di London. Ia mendapat titipan dari Jody, untuk menemui, mengawasi, serta melindungi kekasihnya bernama Dil.
Latar belakang film The Crying Game yakni ketika masih terjadi konflik di wilayah Irlandia Utara yang ingin merdeka dan independen dari Inggris Raya, melalui berbagai gerilya yang dilakukan oleh Provisional Irish Republican Army atau yang populer disebut IRA.
Kisah The Crying Game berpusat pada karakter Fergus (Stephen Rea), seorang relawan tentara IRA. Bersama dengan rekan-rekannya, termasuk Jude yang dikoordinir oleh Maguire, mereka menjebak dan menculik seorang tentara Inggris bernama Jody di sebuah rumah.
Namun Jody tewas saat melarikan diri ketika akan dieksekusi mati oleh Maguire. Tak lama kemudian sebuah pesawat membom rumah tersebut yang menyebabkan mereka terpencar, termasuk Fergus yang tiba di London. Ia mendapat titipan dari Jody, untuk menemui, mengawasi, serta melindungi kekasihnya bernama Dil.
Rupanya Fergus selama berada di London dan bekerja pada konstruksi bangunan, mulai menemukan kedamaian, sekaligus tertarik dan bersimpati pada Dil yang mengalami berbagai penganiayaan akan profesinya sebagai penyanyi di sebuah bar, sehingga terjadi romansa diantara keduanya.
Kejutan terjadi ketika Fergus akan memulai kehidupan baru bersama Dil, ia dikunjungi oleh Maguire dan Jude, dengan perintah untuk membunuh seorang hakim. Fergus pun menjadi dilema, karena mereka mengancam nyawa Dil, jika tidak melakukan eksekusi tersebut.
Jangan pernah sekalipun anda mengetahui SPOILER film ini, karena tidak akan mengalami pengalaman menonton yang mengejutkan!
The Crying Game pada dasarnya mengeksploitasi sisi manusiawi dari seorang partisan atau tentara IRA. Konflik yang berkepanjangan tersebut, menyebabkan kelompok IRA dikategorikan sebagai organisasi teroris yang gemar melakukan pemboman dan pembunuhan di wilayah Inggris serta Eropa.
Kejutan terbesar di film ini berkenaan dengan isu yang cukup sensitif dalam menyingkap identitas tersembunyi dari kacamata kenaifan, serta aspek psikologis yang dianggap tabu oleh sebagian kalangan konservatif. Sisi gelap seorang manusia terungkap dengan jelas, melalui hubungan kompleks yang menimbulkan berbagai intrik dengan nuansa kelam serta masa depan yang tidak pasti.
Arahan Neil Jordan dalam film ini, begitu piawai dalam memainkan ritme dan menciptakan ambience terhadap berbagai kecanggungan hubungan antar karakter yang memiliki perbedaan yang kontras.
Gaya penceritaan di film ini dalam setiap adegannya, terasa seperti sebuah dongeng klasik yang cenderung melankolis terhadap perjalanan serta petualangan dari karakter utamanya, dalam hal ini Fergus, yang mengingatkan saya akan film garapan Jordan lainnya seperti The Company of Wolves (1984) atau Interview with the Vampire (1994).
Baca juga : The Company of Wolves (1984) : Dongeng Unik Kawanan Serigala
Secara keseluruhan, film ini bisa saya bagi dalam dua babak penting. Dalam babak pertama, audiens diperkenalkan oleh karakter Fergus, melalui watak dan sikapnya saat berinterkasi dengan orang lain. Fergus seorang yang dingin, pasif dan cenderung introvert, maka secara perlahan karakter Jody mulai membangun komunikasi dengannya.
Jody lebih dominan dibandingkan Fergus, sehingga kekontrasan dua karakter tersebut semakin jelas terlihat, meski terkesan canggung, mengingat mereka berada di dua sisi yang berlawanan.
'Persahabatan' singkat itulah yang akhirnya mencairkan hati Fergus yang mungkin pada dasarnya memang memiliki naruni yang mudah tersentuh, ketika sesaat Jody akan segera dieksekusi.
Lalu, di babak kedua, saat Fergus berada di London dan bertemu dengan Dil. Pola serupa pun terulang, tentunya dengan kecanggungan terbesar, yang menyebabkan nurani Fergus lebih terangkat, berempati terhadap Dil, hingga menemukan cinta sejatinya. Adapun elemen erotis dan sedikit suspens, menjadi bumbu penyedap di bagian ini.
Miramax Pictures |
Selain itu, beberapa adegan yang diselingi humor satir, membuat saya syok sekaligus tertawa pahit! Pada satu titik di puncak cerita, untuk kesekian kalinya, hati Fergus kembali teruji. Ia memang seorang gerilyawan IRA, namun gejolak serta konflik batinnya selalu bergumul sekaligus mempertanyakan rasa nasionalisme-nya saat berhadapan dengan Maguire.
Namun yang menarik perhatian saya adalah ketika beberapa dialog dan adegan yang menggerakan dan membuka hati saya sebagai penonton, akan apa inti cerita di film ini sebenarnya.
Boleh dikatakan, bahwa Fergus memiliki keluguan dalam dirinya, yang terjebak di dalam berbagai kekerasan semenjak ia bergabung dengan IRA. Performa brilian yang ditunjukkan oleh Stephen Rea sebagai Fergus, sungguh impresif dan mengharukan.
Begitu pula dengan Forest Whitaker sebagai Jody cukup signifikan, meski porsinya tidak besar. Adapun karakter klise Maguire adalah sebagai seorang yang berpengalaman dalam militer yang kejam.
Begitu pula dengan Forest Whitaker sebagai Jody cukup signifikan, meski porsinya tidak besar. Adapun karakter klise Maguire adalah sebagai seorang yang berpengalaman dalam militer yang kejam.
Yang paling menarik atensi dari semuanya, tentu saja karakter Dil yang menjadi kunci dari problematika cerita yang sesungguhnya! Melalui karakter Dil, maka Fergus semakin belajar dan memperlihatkan hati nuraninya sebagai manusia.
Fergus mengalami hubungan yang rumit dengan Dil, Jody, serta Jude. Dari situ, ia belajar mencintai dan menyayangi apa arti sebuah nilai seorang manusia.
Gaya penyutradaraan ala Neil Jordan memang unik, mungkin terkesan mengandung banyak unsur suspens dan kejutan, serta elemen neo-noir yang kental, juga menambah kesenduan dan tragedi akan drama perjalanan seorang protagonis.
Fergus mengalami hubungan yang rumit dengan Dil, Jody, serta Jude. Dari situ, ia belajar mencintai dan menyayangi apa arti sebuah nilai seorang manusia.
Gaya penyutradaraan ala Neil Jordan memang unik, mungkin terkesan mengandung banyak unsur suspens dan kejutan, serta elemen neo-noir yang kental, juga menambah kesenduan dan tragedi akan drama perjalanan seorang protagonis.
Begitu pula dengan sorotan kamera di beberapa adegan tertentu yang bergerak perlahan namun secara eksplisit memberikan kejutan yang tiada ampun, dari yang saya alami.
Tak pelak, jika film ini berkualitas Oscar dan tentunya disambut baik oleh kritik dan sukses di layar lebar.
Menurut saya, film ini mengandung kontroversi yang mengejutkan sekaligus pula menggetarkan hati, terutama di akhir adegan. Mungkinkah sebuah penebusan menjadi solusi yang tepat dari beberapa kesalahan di masa lalu?
The Crying Game memang mengupas habis perjalanan cinta, nurani dan nasionalisme terhadap seseorang yang terjebak dalam waktu dan tempat yang tidak tepat.
Score : 4 / 4 stars
The Crying Game | 1992 | Drama, Thriller, Crime | Pemain: Stephen Rea, Jay Davison, Miranda Richardson, Forest Whitaker | Sutradara: Neil Jordan | Produser: Stephen Woolley | Penulis: Neil Jordan | Musik: Anne Dudley | Sinematografi: Ian Wilson | Distributor: Miramax Pictures | Negara: Inggris, Irlandia | Durasi: 111 Menit
Tak pelak, jika film ini berkualitas Oscar dan tentunya disambut baik oleh kritik dan sukses di layar lebar.
Menurut saya, film ini mengandung kontroversi yang mengejutkan sekaligus pula menggetarkan hati, terutama di akhir adegan. Mungkinkah sebuah penebusan menjadi solusi yang tepat dari beberapa kesalahan di masa lalu?
The Crying Game memang mengupas habis perjalanan cinta, nurani dan nasionalisme terhadap seseorang yang terjebak dalam waktu dan tempat yang tidak tepat.
Score : 4 / 4 stars
The Crying Game | 1992 | Drama, Thriller, Crime | Pemain: Stephen Rea, Jay Davison, Miranda Richardson, Forest Whitaker | Sutradara: Neil Jordan | Produser: Stephen Woolley | Penulis: Neil Jordan | Musik: Anne Dudley | Sinematografi: Ian Wilson | Distributor: Miramax Pictures | Negara: Inggris, Irlandia | Durasi: 111 Menit
Comments
Post a Comment