Film untuk Video Kok Diputar di Bioskop?
Escape Plan 2 : Hades (2018), Lionsgate Home Entertainment |
Beberapa waktu lalu film Escape Plan 2 : Hades (2018) sempat diputar di sejumlah bioskop tanah air. Film yang dibintangi oleh Sylvester Stallone tersebut merupakan sekuel dari Escape Plan (2013) yang berduet dengan Arnold Schwarzenegger.
Film pertamanya didistribusikan oleh Summit Entertainment, mendapat sambutan lumayan dengan memperoleh keuntungan dari perilisan internasional, meski secara kritik medioker.
Escape Plan diisi oleh kru yang tidak memiliki nama besar, kecuali kedua bintang utamanya tadi, ditambah dengan para aktor/aktris pendukung yang tidak terlalu populer atau yang telah mengalami penurunan karir beberapa diantaranya.
Lima tahun kemudian, sekuelnya dirilis dengan Stallone masih jadi bintang utamanya, namun kali ini didampingi oleh aktor laga, David Bautista. Ternyata film tersebut dirilis dalam format video di Amerika Utara (Amerika Serikat dan Kanada), sedangkan di China ditayangkan melalui layar bioskop.
Indonesia pun menjadi salah satu negara yang kebagian jatah film itu untuk ditayangkan di bioskop. Saya tidak tahu, jika memang ada strategi marketing akan sejumlah film Amerika (Hollywood) kepada beberapa negara lain khususnya Asia, termasuk Indonesia, yang dari dulu memang ‘dimanjakan’ oleh film Barat.
Bioskop sebagai Ajang Sosialisasi
Film Escape Plan 2 adalah salah satu contoh untuk ‘menjual’ Stallone lewat layar lebar alias bioskop, khususnya di beberapa negara berkembang seperti Indonesia. Harapannya yakni pemasukan melalui penjualan tiket yang mungkin lebih realistis untuk pihak distributor, daripada harus berjualan kepingan (Blu-Ray dan DVD) orisinal atau mengunduh film digital secara resmi.
Mungkin juga bioskop adalah sesuatu yang ‘hype’ bagi kalangan muda untuk berosisalisasi, sekaligus menunjukkan eksistensi jati dirinya, tanpa terlalu menghiraukan serta mengetahui persis akan film-film yang ditontonnya. Ini terjadi secara umum di Indonesia, ibaratnya ikut-ikutan tren tanpa pengetahuan yang memadai.
Saya teringat, ketika sebagian orang yang tidak sanggup menonton film Blade Runner 2049 (2018) di gedung bioskop sampai tuntas, karena dirasa membosankan dengan rasa kantuk yang timbul, padahal apakah mereka tidak pernah mencari tahu film tersebut sebelum menontonnya atau tidak mau tahu?
Maka bisa jadi fenomena tersebut merupakan peluang bagi para pelaku bisnis pemasok film. Tidak peduli film tersebut seburuk apapun yang penting bisa menjual, mungkinkah begitu?
Padahal Stallone sudah semakin menua, jika tidak ada film seperti The Expendables, kebangkitan Rocky dan Rambo serta munculnya sempalan film Creed, maka sangat sulit untuk mempertahankan eksistensinya sebagai aktor laga kelas A yang bakal tergantikan oleh Dwayne Johnson, Vin Diesel atau Jason Statham.
Baca juga: Creed (2015) : Spin-off 'Rocky' Terbaik
Sejumlah aktor/aktris laga yang cenderung stereotip dalam hampir setiap filmnya, sulit untuk bertahan lama di layar lebar, maka format “direct-to-video” (atau yang dikenal sebagai DTV) menjadi alternatif terhadap pangsa pasar dan biaya. Atau juga aktor/aktris dengan performa lebih variatif pun juga sebagian mengalami hal serupa, hingga beralih ke serial televisi atau digital.
Indonesia termasuk salah satu negara yang kebagian mendapat jatah film format DTV untuk ditayangkan di bioskop. Tidak dapat dipungkiri, industri pembajakan di tanah air sejak dulu kala mulai dari era video VHS atau Beta, VCD, DVD, Blu-Ray hingga format digital selalu eksis, salah satunya adalah faktor ekonomi.
Jika memang konsumen mengetahui bahwa film tersebut merupakan DTV, mengapa harus menonton di bioskop? Padahal dalam waktu yang hampir bersamaan, format video-nya sudah beredar, baik yang resmi maupun bajakan.
Film adalah sebuah hiburan yang bisa ditonton oleh siapa saja, dari berbagai kalangan tanpa pandang bulu, yang memiliki pengetahuan berbeda tentang film. Beberapa negara maju seperti Amerika Serikat, jelas memiliki masyarakat dan peradaban yang lebih cerdas dan maju tentunya, demikian pula halnya dengan industri perfilmannya.
Beberapa Faktor yang Mempengaruhi DTV
Menurut saya, ada beberapa faktor yang membuat sebuah film muncul dalam format DTV. Faktor biaya dari pihak perusahaan produksi, studio atau distributor mungkin yang paling berpengaruh dalam mendistribusikan sebuah film, apakah bisa tayang di bioskop atau melalui format video, baik berupa fisik maupun digital.
Besarnya biaya berpengaruh pula terhadap kepopuleran aktor/aktris, sineas dan sejumlah kru yang terlibat dalam film tersebut.
Biarpun cerita filmnya menarik (tergantung persepsi penonton), namun dikarenakan biaya yang minim, maka selain kru, sejumlah setting, efek dan editing (finalisasi atau pasca produksi) biasanya sulit untuk dieksekusi sebaik mungkin, bahkan beberapa diantaranya boleh dinilai buruk.
Strategi marketing dari film itu sendiri juga tentunya sudah bisa diproyeksikan oleh pihak distributor atau studio, untuk segmen seperti apa film tersebut akan ditonton. Dengan film yang telah selesai dibuat, mereka sudah menghitung keuntungan dan resiko kerugian yang didapat jika dirilis di bioskop atau dalam format DTV, baik distribusi lokal maupun global.
Baca juga: Child's Play (1988) : Legenda Chucky Berawal di Film Disini
Faktor penting lainnya, yakni keengganan pihak studio atau distributor dalam menayangkan filmnya di bioskop atau bahkan kuotanya itu sendiri sudah penuh. Terkadang, bisa juga pihak studio tiba-tiba menayangkan film tersebut di bioskop, yang seharusnya berformat DTV atau menayangkan di bioskop secara terbatas, sebelum dilanjutkan pemasarannya melalui format DTV.
Juga, buruknya ulasan dari beberapa pihak terkait, atau konten yang kontroversial, bisa jadi membatalkan sebuah film untuk tayang di bioskop.
Kesimpulan
Di jaman informasi digital yang sudah semakin canggih ini, memang diharapkan konsumen bisa semakin cerdas dalam menyerap semua informasi yang memiliki pengetahuan yang edukatif.
Fenomena format DTV yang dirilis di gedung bioskop tanah air, sebenarnya sudah lama terjadi sebelum era internet, hanya saja kita tidak mengetahuinya karena keterbatasan informasi.
Mungkin ada baiknya, sebelum nonton sebuah film di bioskop, untuk mencari tahu informasinya dengan lengkap, apakah memang layak ditonton atau tidak, pantas atau tidak dalam mengeluarkan biaya tiket bioskop, jika hasil akhirnya berujung pada kekecewaan.
Namun itu semua tergantung kepada selera masing-masing konsumen, karena setelah saya baca ulasan film Escape Plan 2 di media online, umumnya memberi nilai buruk, semakin menguatkan niat saya yang memang tidak akan pernah menontonnya dari awal, karena saya sudah mengetahuinya bahwa film tersebut berformat DTV.
Jadi, alangkah bijaksananya jika memiliki pengetahuan yang memadai akan informasi sebuah film dari beberapa referensi ternama di internet, sebelum berniat menontonnya.
Comments
Post a Comment