The Predator (2018) : Berusaha Kembali pada Orisinalitas
Ekspektasi apa lagi dari film Predator terbaru, yang bisa membuat perbedaan signifikan? Apakah mampu mengimbangi film pertamanya itu? Jangan harap banyak!
Itulah pesimisme saya setahun lalu, saat mengetahui rencana perilisan The Predator tersebut. Satu poin terpenting adalah: jangan coba-coba membuat ulang film ikonik, apalagi yang telah berstatus cult, karena sebuah sekuel pun turut mencemaskan akan kualitasnya.
Untungnya film The Predator merupakan sekuel yang ceritanya adalah lanjutan dari Predator 2 (1990), dalam usaha untuk menemukan kembali entitas filmnya kepada orisinalitas.. Film yang masih diproduseri oleh John Davis itu, disutradarai oleh Shane Black, yang pernah berperan sebagai Hawkins dalam film Predator (1987).
Baca juga: Lethal Weapon (1987) : Duet Polisi Mematikan
Shane Black adalah penulis cerita dibalik kesuksesan Lethal Weapon 1 dan 2 (1987 dan 1989) serta The Last Boy Scout (1991), Last Action Hero (1993), The Long Kiss Goodnight (1995), juga menyutradarai film Kiss Kiss Bang Bang (2005), Iron Man 3 (2013) dan The Nice Guys (2016), maka ia bukanlah seorang sineas sembarangan.
Setelah saya simak film The Predator di kursi empuk bioskop, rasa pesimis perlahan mulai berkurang, meski tidak lenyap begitu saja. Ada sejumlah poin penting yang saya rasa film tersebut begitu lekat dengan film Predator walaupun Arnie kembali absen, namun mampu membangkitkan kembali nostalgia akan atmosfir dari film pertama, bahkan film keduanya.
The Predator mengisahkan seorang sniper dari U.S. Ranger bernama Quinn McKenna (Boyd Holbrook) menemukan atribut dari sebuah pesawat predator yang mendarat darurat di bumi.
Tiba-tiba ia disergap dan berkonfrontasi dengan mahluk tersebut, yang mengakibatkan rekan-rekannya tewas. Quinn sendiri berhasil memperdayanya lalu mengirimkan atribut tersebut ke rumahnya.
Tiba-tiba ia disergap dan berkonfrontasi dengan mahluk tersebut, yang mengakibatkan rekan-rekannya tewas. Quinn sendiri berhasil memperdayanya lalu mengirimkan atribut tersebut ke rumahnya.
Kini mahluk tersebut dijadikan objek penelitian yang dipimpin oleh agen pemerintah bernama Will Traeger (Sterling K. Brown) yang meminta Dr. Casey (Olivia Munn) untuk meneliti DNA-nya agar lebih banyak mengetahui asal-usulnya.
Tiba-tiba mahluk tersebut terlepas sekaligus membantai orang-orang di sekitarnya, lalu melarikan diri, sedangkan Casey mengejarnya.
Sementara Quinn yang sebelumnya ditangkap dan diinterogasi oleh Will, dibawa bersama dengan para prajurit tahanan di dalam bus menuju ke suatu tempat. Tak sengaja, mereka berada di lokasi saat Casey mengejar mahluk tersebut, lalu Quinn dan para tahanan mengambil alih bus tadi. Mereka dan Casey akhirnya berkonfrontasi dengan mahluk itu.
Mahluk tersebut telah mengetahui keberadaan atributnya, setelah anak Quinn bernama Rory (Jacob Tremblay), secara tak sengaja mengaktifkan atribut tersebut. Quinn, Casey dan yang lain sepakat untuk mengambil atribut tersebut, sekaligus melindungi Rory dari ancaman target Predator.
Unsur nostalgia akan film pertamanya yakni Predator, mulai tampak ketika di awal sekuen diperlihatkan kapal luar angkasa menuju bumi, serta kemunculan judul pembukanya dengan menggunakan jenis huruf yang sama. Begitu pula dengan original score-nya yang khas kembali hadir.
Premis cerita film The Predator memang agak klise dan tidak menyuguhkan sesuatu yang baru. Alur yang dibangun pun terasa standar dan kurangnya berbagai kejutan berarti hingga pada penyelesaian konflik cerita.
Ceritanya itu sendiri cukup mudah ditebak, dengan menghadirkan sebuah petunjuk di adegan awal, tapi tidak semerta-merta menjadi sesuatu yang hambar, malah cukup berhasil dalam menyambungkannya dengan film Predators (2010) dan AVP (2004) secara kronologis.
Maraknya adegan sadis dengan tingkat lumayan tinggi, diperlihatkan secara eksplisit, namun tidak eksploitatif, serta berdurasi cepat dan tidak dramatis layaknya sejumlah film horor jenis splatter, kalau boleh dibilang mirip dengan Aliens Vs. Predators : Requiem (2007). Jadi bagi anda yang kurang suka dengan adegan gory, cukup tutup mata sebentar saja.
Dari beberapa poin negatif yang telah saya sampaikan, ternyata dapat ditutupi oleh berbagai sekuen dan serangkaian adegan aksi yang dibuat dengan apik dan cukup elegan.
Hal tersebut mengingatkan saya akan berbagai film aksi laga ala 80’an dan 90’an, serta tidak ada adegan jump scare yang tidak penting itu. Meskipun terkesan flick dan agak cheesy, namun cukup efektif dalam menghadirkan intensitas di beberapa adegan tertentu.
Karakterisasi di film ini memang dirasa kurang kuat dalam hal akting yang begitu standar, namun tokoh sentralnya yakni Quinn bergaya layaknya pahlawan agak konyol di beberapa film Superhero tertentu, sebelum menemukan jati dirinya.
Karakter Casey yang absurd itu diperankan oleh Olivia Munn, mengingatkan saya akan kemiripan fisik dari karakter Anna di film Predator, sedangkan karakter Rory sebagai pengidap autis yang diperankan aktor cilik Jacob Tremblay tampak tenggelam, padahal merupakan karakter kunci.
Kekuatan sesungguhnya dari film ini yakni hadirnya berbagai humor segar terutama dari karakter, dialog dan adegan, seperti berbagai keunikan dan kelucuan yang ditemukan pada para prajurit tahanan bersama dengan Quinn, mulai dari pertemuan mereka di dalam bus, hingga petualangan mereka ketika harus berhadapan dengan predator dan seorang agen bernama Will.
Karakter seperti Coyle (Keegan-Michael Key) yang berkepala plontos serta bermuka brewok dan Baxley (Thomas Jane) yang agak sinting, selalu mengundang tawa di setiap aksi mereka.
Juga karakter Nettles (Augusto Aguilera) seperti seorang ‘freak’ yang religius, serta dimeriahkan oleh karakter Nebraska dan Lynch, mampu menurunkan intensitas ketegangan dan mencairkan suasana horor akan teror beringas dari predator.
Penampilan mahluk Predator terutama dari berbagai atribut yang dipakainya, termasuk helmnya, tampak ada modifikasi lebih modern dengan desain yang lebih streamline. Kehadiran Predator Dog meski dibuat dengan CGI, ternyata tidaklah seganas yang dibayangkan, malah terkadang lucu.
Baca juga: Prey (2022): Prekuel Predator Layak Tonton
Film The Predator cukup baik dalam merangkul spirit yang cukup kental dari film pertama dan keduanya, dengan memiliki gaya dan arahan yang dirasa pas untuk waralaba sekelas Predator atas dasar latar profesi seorang Shane Black.
Meski saat ini kurang mendapat kritik yang baik, namun film ini dirasa mampu kembali berada di jalur yang lebih tepat, berusaha kembali pada orisinalitas, meski tetap saja tidak akan pernah bisa mengimbangi kualitas dari film pertamanya.
Film ini memang berpotensi besar akan kehadiran sekuelnya, seperti yang tertera di akhir cerita.
Elemen 'fun' dalam film ini pulalah yang cukup berhasil dalam usaha mempertahankan ciri khas dari waralaba Predator, sesuai dengan gaya film di era 80'an, walau terkadang penambahan elemen humor meriah di film ini dinilai berlebihan.
Score : 3 / 4 stars
The Predator | 2018 | Fiksi Ilmiah, Aksi Laga, Thriller | Pemain: Boyd Holbrook, Trevante Rhodes, Jacob Tremblay, Keegan-Michael Key, Olivia Munn, Thomas Jane, Alfie Allen, Sterling K. Brown | Sutradara: Shane Black | Produser: John Davis | Penulis: Berdasarkan karakter ciptaan Jim Thomas dan John Thomas. Naskah : Fred Dekker, Shane Black | Musik: Henry Jackman | Sinematografi: Larry Fong | Distributor: 20th Century Fox | Negara: Amerika Serikat | Durasi: 107 Menit
Comments
Post a Comment