Hereditary (2018) : Horor Fiktif antara Delusi dan Realita
Catatan : Mungkin saja ulasan ini mengandung beberapa petunjuk, bukan berupa bocoran cerita film.
Pada dasarnya, film favorit bagi saya adalah yang menghibur, yang bisa menyentuh psikologis saya untuk bisa menikmati dari awal hingga akhir cerita.
Ketika saya menonton film Hereditary, rasa kantuk luar biasa menyerang saya ditambah dengan rasa pesimis, negatif serta skeptis dari semua aspek yang saya rasakan. Saya coba bertahan, meski setahap demi setahap, tiap kepingan itupun akhirnya bisa dikumpulkan dengan rapih dan solid hingga di akhir cerita.
Film Hereditary pada dasarnya bisa dikatakan sebagai penceritaan horor fiktif jenius dengan mengkombinasikan antara delusi dan realita terhadap karakter utamanya dalam menghadapi sebuah teror yang terkesan ambigu.
Film yang diproduksi oleh A24 ini digadang-gadang sebagai salah satu film horor terbaik dalam dekade ini, serta tak lupa perusahaan produksinya itu sendiri juga sering diperbincangkan moviegoers sebagai penghasil sejumlah film berkualitas.
Jajaran kru yang ada pun tidak saya ketahui prestasinya, kecuali aktor watak veteran asal Inggris, Gabriel Byrne, yang juga tidak populer amat. Bicara soal A24, saya teringat ketika mengulas film Ladybird (2017) dengan kru yang tidak saya kenal, namun berkualitas.
Setelah saya tonton hingga tuntas dengan napas lega, sepertinya film ini mengambil berbagai elemen dari sejumlah film horor klasik mulai dari Rosemary’s Baby (1968), The Wicker Man (1973), The Sentinel (1977), Possession (1981), Spellbinder (1988) hingga The Witch (2015), bahkan ada kemiripan gaya supranaturalnya M. Night Shyamalan.
Hereditary mengisahkan tentang wafatnya Ellen Taper Leigh, seorang nenek berusia 78 tahun, yang meninggalkan anaknya bernama Annie (Toni Collette), beserta kedua cucunya, Peter (Alex Wolff) dan Charlie (Milly Shapiro). Annie sendiri yang bersuamikan Steven (Gabriel Byrne), memiliki masa lalu suram, saat kakaknya bernama Charles wafat di usia muda.
Setelah pemakaman Ellen, berbagai kejadian janggal dan menyeramkan mulai meneror keluarga Annie, ditambah dengan masing-masing problema pribadi mereka. Annie yang seorang seniman pembuat miniatur diorama, mulai merasakan berbagai hal aneh seputar visinya akan kehadiran Ellen.
Sementara Charlie yang berperilaku aneh dan anti-sosial juga mulai bertingkah di luar dugaan dan terkadang seperti kerasukan sesuatu, sedangkan Peter mengalami masa pubertas dan jati diri layaknya remaja pria.
Annie yang sepertinya mengalami depresi kehilangan ibunya, juga mengalami kesulitan beradaptasi ketika harus mengikuti grup konseling yang dipimpin oleh Joan (Ann Dowd). Namun keadaan sesungguhnya sedang menghantui mereka dengan ancaman yang nyata.
Keunikan terasa dalam prolog berupa kalimat singkat yang menjelaskan keluarga Annie dan perihal kematian Ellen. Lalu dengan pace yang super lambat, sekuen dibuka lalu cerita pun mengalir bagai lendir yang ditinggalkan seekor siput ketika sedang bergerak perlahan.
Sisi negatif dari film ini sungguh sangat menjenuhkan dan membosankan, cocok untuk penghantar tidur, mulai dari antar adegan yang satu terhadap yang lainnya, dialog hingga minimnya scoring. Untungnya, tidak terdapat jump scare murahan di film ini.
Saya yang mencoba terus bertahan selama dua jam, mengikuti alur cerita yang disusun cukup solid dan rapat itu, secara perlahan mulai menemukan titik suram dari berbagai kepingan kengerian horor yang memiliki atmosfir lebih realistis dari kebanyakan film horor lainnya.
Mulai dari pertanyaan mengenai sosok Ellen yang misterius, rumitnya hubungan Annie dengan Ellen yang mengakibatkan guncangan psikologis dari trauma masa lalu, terkait meninggalnya Charles, hingga berbagai teror tak terjelaskan yang terjadi dalam delusi Charlie dan Annie bahkan Peter.
Karakter Ellen adalah kunci dari keseluruhan cerita misterius tersebut, namun bagaimana aktivitas atau identitasnya semasa masih hidup, sebenarnya bisa ditebak saat Charlie memandang jasad Ellen di sebuah pemakaman.
Berbagai visi aneh, tanda menyerupai pentagram, tulisan yang muncul di dinding kamar, serta berbagai efek suara yang dialami oleh Annie dan Charlie, sepertinya mengindikasikan akan adanya peran perempuan yakni Ellen, Annie serta Charlie yang berkenaan dengan berbagai hal gaib tersebut.
Karakter Annie yang diperankan Toni Collette, begitu cemerlang serta mampu mengeksploitasi jiwannya yang begitu depresi dan frustasi, rasa kehilangan sekaligus bersalah di masa lalu akibat hubungan yang renggang dengan Ellen.
Belum lagi tingkah gila Charlie yang diperankan Milly Shapiro, terlihat janggal seperti dirasuki sesuatu, serta melihat hal-hal yang aneh, cukup dibuat merinding. Terlebih akan wajahnya yang aneh, ada seperti lipatan atau kerutan di bagian bawah matanya, terlihat lebih tua dari usia dalam cerita film, yakni 13 tahun.
Karakter Peter yang diperankan Alex Wolff sebenarnya tidak ada yang spesial, mengingat dibuat sebagai karakter pendukung, sedangkan karakter Steven yang diperankan Gabriel Byrne, tak lebih sebagai karakter pelengkap saja.
Film Hereditary memang unik, namun dugaan saya, sineas Ari Aster terpengaruh oleh sejumlah film horor psikologi era 70’ atau 80’an, terutama yang digarap oleh sineas Eropa.
Selain alur melalui pace yang lambat, banyak adegan aksi yang disorot dengan durasi yang cukup lama, membuat saya pegal sekaligus penasaran akan apa yang terjadi pada adegan selanjutnya.
Baca juga: Us (2019) : Horor Blaxploitation dan Doppelganger
Selain itu, beberapa kejutan yang hadir secara visual melalui efek, baik terhadap karakter, objek maupun fenomena, sehingga menghasilkan kengerian nyata, sekaligus mengusir rasa kantuk saya.
Ada satu hal yang membuat film ini begitu istimewa, yakni teknik sinematografi yang mumpuni. Berkolaborasi dengan desainer produksi, bagaimana keahlian penggabungan teknik sorot kamera terhadap sebuah diorama berupa miniatur rumah yang dibuat oleh karakter Annie.
Sorotan kamera dengan perlahan mendekat diorama tersebut, hingga masih dalam satu sekuen, miniatur tersebut berubah menjadi karakter nyata (Steven dan Peter) di dalam kamar tidur yang nyata pula. Itu hanya salah satu contoh dari beberapa adegan serupa yang sungguh menakjubkan.
Selain itu, tentunya beberapa adegan menyeramkan dibuat dengan cara yang berbeda dari kebanyakan film horor. Seperti berbagai penampakan yang berada jauh di belakang karakter tanpa harus mengejutkan si karakter tersebut dari jarak dekat.
Koreografi di film ini pun sungguh impresif melalui sebuah teknik yang mampu untuk membangkitkan atmosfir horor secara perlahan, namun pasti dan terasa lebih nyata.
Dengan scoring yang dibuat minim dan terkesan seadanya, hanya terdengar dalam beberapa adegan tertentu, sound terasa creepy sekaligus membuat bulu kuduk berdiri. Pelintiran besar hadir di akhir cerita yang tidak akan pernah disangka atau ditebak sebelumnya.
Hereditary mampu memanipulasi pikiran audiens, sehingga sulit dibedakan antara protagonis dan antagonis sekaligus siapa yang bisa bertahan, juga antara delusi dan realita yang dihadapinya.
Narasi ceritanya mampu melawan arus heroisme klasik, jauh dari kesan klise namun anda harus siap fokus serta mengantisipasi kejenuhan di hampir tiga perempat ceritanya.
Direkomendasikan? Ya! Mudah dikenang? Cukup. Menghibur? Tidak terlalu. Ingin ditonton ulang? Saya rasa tidak ... mungkin dalam 10 tahun ke depan.
Score : 3.5 / 4 stars
Hereditary | 2018 | Drama, Thriller, Horor, Misteri, Psikologis | Pemain: Toni Collette, Alex Wolff, Milly Shapiro, Ann Dowd, Gabriel Byrne | Sutradara: Ari Aster | Produser: Kevin Frakes, Lars Knudsen, Buddy Patrick | Penulis: Ari Aster | Musik: Colin Stetson | Sinematografi: Pawel Pogorzelski | Distributor: A24 | Negara: Amerika Serikat | Durasi: 127 Menit
Comments
Post a Comment