Bohemian Rhapsody (2018) : Mengenang 45 tahun Karir Queen
Gara-gara film Wayne’s World (1992) yang dibintangi oleh Mike Myers, dan satu tahun setelah kematian Freddie Mercury, lagu Bohemian Rhapsody kembali menjadi hits secara global.
Kini, setelah 26 tahun dan mengalami proses penundaan panjang, film biopic yang mengisahkan perjalanan karir rock band asal Inggris, Queen dengan judul Bohemian Rhapsody akhirnya dirilis.
Queen adalah legenda rock yang lahir di era 70’an, bersama dengan Black Sabbath, Led Zeppelin, Deep Purple, Judas Priest, KISS, Aerosmith dan masih banyak lagi. HIngga kini genap sudah karir mereka selama 45 tahun yang dikenang melalui film Bohemian Rhapsody.
Yang membedakan Queen dari yang lain, yakni harmonisasi vokal (utama dan latar), simfoni musik yang berakar dari progressive rock, art rock, psychedelic rock dan heavy metal yang dipadukan dengan pop, opera, folk, gospel hingga disko.
Kekuatan musik Queen terletak pada talenta permainan gitar Brian May, dentuman bass 'groovy' ala John Deacon, gebukan drums Roger Taylor, hingga dahsyatnya vokal Freddie Mercury yang konon melebihi 3 oktaf itu.
Film Bohemian Rhapsody mengisahkan tentang perjalanan awal karir Queen dari tahun 1970 hingga penampilan mereka dalam konser Live Aid di tahun 1985, disertai dengan kehidupan pribadi Freddie Mercury.
Semuanya berawal saat Farrokh Bulsara alias Freddie Mercury (Rami Malek) tertarik dan menawarkan diri untuk bergabung sebagai vokalis rock band bernama Smile yang digawangi oleh gitaris Brian May (Gwilym Lee) dan drummer Roger Taylor (Ben Hardy) setelah ditinggal oleh pemain bass mereka.
20th Century Fox |
Dalam momen tersebut, Mercury bertemu dengan Mary Austin (Lucy Boynton) dan mereka menjadi sepasang kekasih. Smile berganti nama menjadi Queen, serta merekrut pemain bass bernama John Deacon (Joseph Mazello), lalu mereka menjual sebuah mobil van untuk memproduksi debut album dan label rekaman.
EMI pun tertarik untuk memproduseri mereka. Mercury mempertanyakan seksualitas dirinya setelah perilisan tiga album pertama, dan terutama saat mereka tur di Amerika, ia pun mengaku sebagai seorang biseks kepada Mary.
Popularitas Queen pun dimulai saat mereka merilis album A Night at The Opera di tahun 1975 dan dan terus meraih kesuksesan, sementara kehidupan pribadi Mercury dieksploitasi termasuk hubungan dengan manajer pribadinya, pertengkaran dengan anggota band lainnya yang menyebabkan ia bersolo karir, hingga mengidap AIDS.
Umumnya film biopic tidak 100% akurat, selalu ada elemen fiktif yang hadir untuk mendramatisir ceritanya. Perasaan saya saat nonton film ini bercampur aduk antara puas dan tidak puas, rupanya agak seimbang antara kelemahan yang signifikan dengan kelebihan yang memuaskan dan menghibur di film ini, terutama saat seperempat cerita berjalan.
Saya mulai dari kelemahannya:
Yang paling mendasar dan tidak akurat adalah kronologi karir Queen yang menghadirkan lagu mereka dalam adegan tertentu. Setelah mereka merilis album ketiga mereka berjudul Sheer Heart Attack (1974) dilanjutkan tur ke Amerika. Namun dalam konser, mereka memainkan lagu Fat Bottomed Girls yang faktanya ada di album Jazz (1978).
Kesalahan fatal terjadi, ketika ceritanya di tahun 1980, Freddie yang telah berambut pendek dan berkumis, mereka mulai merekam lagu We Will Rock You yang faktanya ada di album News of the World (1977).
Manajer Queen John Reid menangani mereka sejak album pertama, faktanya ia menangani mereka sejak album ke-3, yakni A Night at The Opera (1975), setelah Queen hampir bangkrut dan putus kontrak dengan Trident Studios.
Ketidakakuratan lainnya tidaklah mengganggu saya, mengingat film biopic jika tidak ada bumbu drama, maka tidaklah seru. Misalnya saat Queen dalam tenggang waktu terhimpit alias “last minute”, bisa bergabung dalam konser Live Aid setelah rekonsiliasi Freddie dan anggota band lainnya.
Sekuen reka ulang penampilan Queen dalam konser Live Aid yang sangat epik! Kehebatan menampilkan peristiwa besar dalam sejarah musik di tahun ’85 itu, baik dalam menghadirkan puluhan ribu audiens –dengan gaya rambut serta busana mereka ala 80’an- di stadion Wembley.
Penampilan para aktor dalam menirukan performa Queen, kemudian ditransfer ke dalam bentuk adegan dalam film, mampu memberikan sebuah performa yang mirip dan mendekati sempurna, melalui beberapa momen serta energi yang ditampilkan oleh Malek sebagai Mercury.
Mulai dari lagu Bohemian Rhapsody, kekompakkan puluhan ribu audiens dalam gerakan tepuk tangan, melambaikan tangan dan bernyanyi Radio Ga Ga, momen acappella yang dilantunkan Mercury, hingga lagu penutup We are the Champions, sungguh terasa atmosfir realistis, dengan kedinamisan sorotan kamera, serasa menyaksikan konser sungguhan.
Karakterisasi masing-masing anggota Queen juga patut diapresiasi, terutama sang Mercury yang diperankan dengan sangat baik oleh seorang aktor Amerika turunan Koptik (salah satu etnis Mesir), Rami Malek.
Mulai dari penampilan awalnya dengan rambut gondrong, hingga berambut pendek dan berkumis, karakter suara dan vokal, sorotan mata yang dalam, mimik, ekspresi dan gaya flamboyan akan cara berbicara dan menyanyi yang khas karena gigi depannya yang besar itu!
Sayangnya, karakter Brian May agak tenggelam dan kurang terekspos, kalah dengan John Deacon yang kalem tapi bisa mencuri perhatian, karena tampang dan gayanya yang mudah di-bully, apalagi dengan Roger Taylor yang cenderung keras dan temperamental.
Elemen komedi dengan berbagai dialog humor segar, membuat semua karakter, termasuk karakter pendukung dalam cerita ini lebih hidup dan dramatis.
20th Century Fox |
Momen favorit di film ini adalah ketika Mercury didiagnosa AIDS, ketika ia berobat dan konsultasi dengan dokter, diiringi lagu Who Wants to Live Forever yang liriknya sangat menyentuh itu, yang mengingatkan saya akan momen haru di film Highlander (1986).
Baca juga: Highlander (1986) : Ksatria Abadi Bangsa Skotlandia
Juga tak kalah kerennya, dalam adegan Queen mulai merekam lagu Another One Bites to Dust dan sekuen beralih kepada kehidupan seksual Mercury, serta ketika ia memecat manajer pribadinya muncul lagu Under Pressure.
Saya tidak sempat menyaksikan kredit penutupnya hingga akhir dan terbayang jika diiringi dengan lagu The Show Must Go On.
Film Bohemian Rhapsody lebih banyak mengedepankan unsur hiburan yang cenderung ‘fun’ ketimbang kedalaman karir musik dari Queen itu sendiri, jika dibandingkan dengan film fiksi seperti This is Spinal Tap (1984).
Eksploitasi sosok Mercury yang unik tersebut menjadi wajar, mengingat eksistensi Queen tanpanya belum tentu menjadi legenda.
Meskipun demikian, film ini menawarkan memori dan mengangkat kembali kebesaran abadi mereka sepeninggal Mercury, dalam rangka mengenang 45 tahun karir Queen.
Score : 3 / 4 stars
Bohemian Rhapsody | 2018 | Biografi, Drama, Musikal | Pemain: Rami Malek, Lucy Boynton, Gwilym Lee, Ben Hardy, Joseph Mazello, Aidan Gillen, Tom Hollander, Mike Myers | Sutradara: Bryan Singer | Produser: Graham King, Jim Beach | Penulis: Anthony McCarten, Peter Morgan | Sinematografi: Newton Thomas Sigel | Musik: Queen | Distributor: 20th Century Fox | Negara: Inggris, Amerika Serikat | Durasi: 134 Menit
Comments
Post a Comment