Film ‘The Three Mothers’ dan Giallo
Film horor klasik Suspiria (1977) merupakan karya sineas asal Italia, yakni Dario Argento yang akhirnya dibuat ulang di tahun 2018.
Film yang mengisahkan okultisme dan penyihir tersebut, terinspirasi dari buku Suspiria De Profundis (Sighs from the Depth), khususnya dalam esai berjudul Levana and Our Ladies of Sorrow, karya Thomas De Quincey.
Bersama dengan film Inferno (1980) dan The Mother of Tears (2007), maka lengkaplah rangkaian dari trilogi The Three Mothers, melalui narasi besar tentang tiga saudara penyihir antagonis yang muncul di awal abad ke-11.
Jika film Suspiria tidak menjelaskan detail latar belakang kisahnya, maka film Inferno mereferensikan bahwa seorang arsitek bernama E. Varelli, yang mendesain tiga bangunan untuk tiga penyihir secara terpisah, yakni di Freiburg (Jerman), New York (Amerika Serikat) serta Roma (Italia).
Penyihir tertua yakni Mater Suspiriorum (Mother of Sighs) dijuluki The Black Queen adalah yang paling bijak diantara ketiganya, berada di kota Freiburg. Adiknya, yakni Mater Lachymarum (Mother of Tears) adalah yang tercantik sekaligus terkuat, berada di kota Roma. Penyihir bungsu yakni Mater Tenebrarum (Mother of Darkness), adalah yang terkejam, berada di kota New York.
Meskipun kisah masing-masing film dari trilogi The Three Mothers berdiri sendiri, namun berkaitan satu sama lain, baik dari latar maupun karakternya.
Suzy Bannion, murid balet asal Amerika yang ditransfer ke sebuah akademi di kota Freiburg, Jerman. Setibanya disana, ia melihat dan mengalami banyak kejadian aneh dan mengerikan, hingga ia berkonfrontasi dengan Mater Suspiriorum (Mother of Sighs).
Penasaran dengan ulasan lengkapnya? Baca di sini
Rose Elliot yang tinggal dalam apartemen tua kota New York, terobsesi dan mencurigai bahwa bangunan tersebut mungkin saja dihuni oleh salah satu penyihir, yakni Mater Tenebrarum (Mother of Darkness), setelah ia membaca sebuah buku tentang The Three Mothers. Ia pun segera menyurati saudaranya, Mark yang sedang studi musik di Roma.
Tak sengaja,teman Mark bernama Sara membaca surat tersebut lalu menyelidikinya ke sebuah perpustakaan. Lalu peristiwa demi peristiwa mengerikan pun terjadi, karena di sepanjang cerita tersebut mereka tidak menyadari ada bahaya yang mengintainya.
Dibandingkan Suspiria, film Inferno menyajikan alur melalui ritme lambat serta karakter yang lebih kompleks, yang ditutup dengan sebuah pelintiran mengejutkan. Melalui visualisasi yang sama, kengerian film ini kurang terasa, meski intensitas mendebarkan masih tetap sama.
Score : 3 / 4 stars
Di Italia, ditemukan sebuah peti jenazah peninggalan abad ke-19, yang didalamnya terdapat atribut Mater Lachymarum (Mother of Tears) dari sebuah penggalian resmi. Atribut tersebut kini berada dalam Museum of Ancent Art di Roma.
Peristiwa mengerikan terjadi di dalam museum tersebut, yang mengakibatkan Sarah Mandy dikejar oleh kekuatan jahat misterius, hingga tertuju pada figur Mater Lachymarum yang mengakibatkan kekacauan massal disekitar mereka, saat manusia dengan brutal dan sadis saling membunuh satu sama lain.
Premis film ini masih menarik dan menggemparkan yang mengarah pada elemen apokaliptik. Sebuah twist terdapat di tiga perempat cerita, yang mengaitkan beberapa karakter.
Sayangnya, eksekusi terasa berlebihan seperti sejumlah adegan yang terlalu sadis dan mengerikan diperlihatkan dengan gaya torture porn, efek CGI yang buruk, lemahnya elemen suspens, tensi yang dipercepat, hilangnya visual yang menarik, hingga adegan akhir yang mengecewakan.
Bagaimanapun juga The Mother of Tears cukup menarik, termasuk kevulgaran Moran Atias yang berani tampil total.
Score : 2 / 4 stars.
Film giallo tumbuh subur dalam perfilman Italia terutama di era 70’an. Ciri khas filmnya secara sederhana dapat dikatakan sebagai film thriller suspens dengan sejumlah adegan kematian yang mengerikan, disisipkan elemen psikologis, noir, pelintiran (twist) serta terkadang supranatural.
Kata “giallo” sendiri dalam bahasa Italia, jika diterjemahkan artinya “kuning”, yang merujuk pada kisah fiktif seputar misteri, detektif, serta kejahatan, semuanya berasal dari novel picisan dengan sampul berwarna kuning yang diterbitkan oleh Mondadori di tahun 1920’an.
Novel tersebut tidak hanya bermuatan kisah dari pengarang lokal, namun juga hasil terjemahan dari sejumlah karya populer seperti Agatha Christie dan Edgar Wallace.
Hampir semua film karya Argento menjelang era 70’an hingga tiga dekade berikutnya lekat dengan giallo, namun sineas Mario Bava yang pertama melakukan tribut pada Hitchcock, melalui film The Girl Who Knew Too Much (1963) yang merupakan benih dari giallo itu sendiri.
Setahun kemudian, Bava menyutradarai Blood and Black Lace dikenal sebagai film giallo yang pertama, melalui karakter pembunuh yang memakai pakaian, topi dan sarung tangan serba hitam, sebuah formula awal dari lahirnya horor slasher. Pengembangannya mulai tampak dalam film selanjutnya, Twitch of the Death Nerve (Bay of Blood) (1971).
Terinspirasi film Blood and Black Lace, maka di tahun 1970 Argento menyutradarai film giallo pertamanya yang sukses sebagai pembuka jalan bagi sejumlah film sejenis, yakni The Bird with the Crystal Plumage.
Titanus |
Selain dua nama tadi, beberapa sineas Italia lainnya juga menghasilkan masing-masing film giallo klasik, seperti Lucio Fulci dan Sergio Martino. Sebenarnya masih banyak contoh film giallo, dengan salah satu ciri khas menggunakan judul panjang, karena memang ganjil dan ambigu sesuai narasi filmnya itu sendiri.
Hal tersebut berdasarkan penyajian alur cerita yang mengandung teka-teki membingungkan, melibatkan karakter detektif amatir, seorang pembunuh yang memakai sarung tangan atau topeng, trauma masa lalu, serta akhir kisah yang sulit ditebak.
Setting yang memanjakan mata dengan interior, dekorasi, pewarnaan serta cahaya juga mendominasi sepanjang adegan cerita, selain scoring yang dilantunkan tampaknya juga unik, mulai dari seorang komposer legenda Ennio Morricone hingga grup progressive rock, yakni Goblin.
Oh ya, istilah giallo sendiri malah ditujukkan oleh beberapa negara di luar Italia terhadap sejumlah film yang dimaksud.
Trilogi The Three Mothers sejatinya bukanlah murni film giallo, karena narasinya sendiri mengisahkan karakter penyihir dalam dunia supranatural, dan cenderung mengarah kepada horor fantasi atau mitos. Meski demikian, bisa diargumentasikan bahwa Argento tetap melibatkan ciri khas giallo ke dalam film trilogi tersebut.
Sumber Referensi :
“Violence, mysteryand magic : how to spot a giallo movie” | “Where to begin with giallo” | imdb.com | wikipedia.org | filmreference.com
Comments
Post a Comment