Jangan Terpengaruh "Rating" Film
Rating film memberikan preferensi atas pengaruh signifikan terhadap film baru tayang, baik di bioskop maupun streaming.
Contohnya, seseorang ingin menonton film A di bioskop, tapi mengurungkan niat nya, hanya karena ia melihat "rating" atau penilaian buruk di situs imdb.com.
Alhasil, ia akhir nya menonton film B yang memiliki "rating" lebih baik daripada film A.
Maka timbul pertanyaan, apakah hasrat orang tersebut terhadap film B, sekuat hasrat nya terhadap film A? Atau film B hanya pilihan alternatif saja, daripada kecewa dengan film A?
Ilustrasi diatas adalah contoh klasik yang membuat sebagian orang membatalkan hasrat, minat, niat, serta upaya untuk menonton sebuah film tertentu.
Hal itu karena terpengaruh "rating" berupa skor atau nilai dari film itu sendiri, meski sangat lumrah dan merupakan hak semua orang.
Film adalah karya seni yang jadi komersial, artinya film adalah wujud seni peran estetis, sekaligus menjadi komersial dengan kelayakan nilai jual untuk pasar dan demografi penonton.
Film adalah karya seni yang jadi komersial, artinya film adalah wujud seni peran estetis, sekaligus menjadi komersial dengan kelayakan nilai jual untuk pasar dan demografi penonton.
Umumnya, karya seni tidak bisa dinilai secara terukur dan akurat berdasarkan ilmu pasti, melainkan persepsi dan selera yang berbeda bagi penonton, juga berlaku bagi para kritikus kaliber sekalipun.
“Rating” Film itu Dinamis
Sebelum melangkah lebih jauh, yang dimaksud dengan "Rating" adalah penilaian baik buruk sebuah film.
“Rating” Film itu Dinamis
Sebelum melangkah lebih jauh, yang dimaksud dengan "Rating" adalah penilaian baik buruk sebuah film.
Sebuah film tetap butuh kritik atau review, sehingga diberikan nilai, namun yang perlu diperhatikan yaitu kuantitas atau jumlah, berapa banyak orang yang menilai film itu sendiri.
Contoh sederhana: Pada bulan Maret, film A mendapatkan "Rating" tinggi sebanyak 90% yang dinilai dari 100 orang. Pada bulan Juni, jumlah penilai bertambah menjadi 300 orang, namun rating film tersebut turun menjadi 77%.
Contoh sederhana: Pada bulan Maret, film A mendapatkan "Rating" tinggi sebanyak 90% yang dinilai dari 100 orang. Pada bulan Juni, jumlah penilai bertambah menjadi 300 orang, namun rating film tersebut turun menjadi 77%.
Waktu berlalu hingga bulan Desember, jumlah penilai mencapai titik maksimal sebanyak 500 orang, dan hasil akhir "Rating" yaitu 69%.
Boleh disimpulkan, bahwa hasil akhir film itu ternyata lumayan positif, dan tidak lagi mendapatkan predikat sebagai "film terbaik" seperti yang terjadi pada awal penilaian.
Hal itu sudah lumrah terjadi, bagaimana "Rating" film itu dinamis, tergantung dari kuantitas atau jumlah penilai, selain tentu saja kualitas kritik namun berujung kepada selera setiap kritikus.
Contoh ekstrim juga terjadi pada sejumlah film yang pernah mengalami perubahan nilai "Rating", semula dinilai buruk namun beberapa tahun kemudian, dikunjungi ulang sejumlah kritikus sama, selain dari kritikus generasi baru.
Hasilnya bisa saja terjadi mengejutkan, bahwa film itu akhirnya mendapatkan "Rating" tinggi.
Biasanya, film itu berstatus cult, semula tidak disukai kritikus, namun akhirnya karena pengaruh orang lain untuk evaluasi ulasan yang tadinya tidak suka, malah jadi suka.
Hal itu mungkin berlaku untuk kita semua sebagai penonton film, tanpa disadari saat pertama kali tonton dan kurang suka, bukan berarti tidak akan pernah tonton lagi, meski kasus tersebut sepertinya jarang terjadi.
Kritik atau Ulasan Film Tetap Dibutuhkan
Menurut pandangan saya, "Rating" film dibutuhkan sebagai tolak ukur dan indikasi yang digunakan media dan institusi, sebagai predikat serta rekomendasi.
Misalnya, dalam kategori film terbaik berdasarkan genre dan tema spesifik, kemudian dipersempit dalam kategori adegan aksi terbaik, quotes menohok, dan lain sebagainya.
Situs "Rating" film populer seperti IMDB, Rotten Tomatoes, serta Metacritic adalah yang paling populer.
Bagi saya pribadi, acuan kritik dengan kualitas yaitu Rotten Tomatoes dan Metacritic, karena merupakan kumpulan penilaian para kritikus top yang kredibel karena jam terbang tinggi, serta telah pengalaman puluhan tahun dalam pekerjaan.
Sejumlah nama besar seperti Roger Ebert, Leonard Maltin, Vincent Canby, Janet Maslin, Peter Bradshaw, Andrew Sarris, James Berardinelli, serta Peter Travers berada dalam kedua situs tersebut.
Sejumlah nama besar seperti Roger Ebert, Leonard Maltin, Vincent Canby, Janet Maslin, Peter Bradshaw, Andrew Sarris, James Berardinelli, serta Peter Travers berada dalam kedua situs tersebut.
Profesi mereka umumnya sebagai kritikus independen atau juga kontributor di salah satu media terkemuka, memiliki latar belakang studi perfilman, sinematografi, ataupun jurnalisme.
Ulasan mereka biasanya lebih tajam dan mendalam, melalui gaya bahasa intelektual dan teknis terperinci.
Situs IMDB berisikan siapa saja yang bisa memberikan kritik atau review, dan kebanyakan profil mereka pun tidak mentereng seperti kritikus top.
Situs IMDB berisikan siapa saja yang bisa memberikan kritik atau review, dan kebanyakan profil mereka pun tidak mentereng seperti kritikus top.
Mungkin saja mereka memiliki website atau blog pribadi yang cukup kredibel, melalui kontribusi dalam memberikan "Rating" di IMDB, meski ulasan nya tidak sedalam para kritikus top.
Jadikan Kritik dan Review Film sebagai Pembelajaran
Sama sekali tidak salah untuk rajin melihat berbagai situs atau blog review film, jika memang dirasa tak sanggup mencerna ulasan kritikus top.
Jangan pula mencibir penilaian buruk kritikus atau reviewer terhadap film yang anda sukai, karena film adalah selera, mengingat ada juga perbedaan penilaian antar kritikus top.
Mungkin yang paling parah dan bodoh adalah jika ada orang jika film kesayangan dikritik buruk, lalu ia mengumpat: “Emangnya loe bisa buat film!”.
Artinya ia tidak bisa membedakan profesi kritikus/jurnalis/penulis dengan pembuat film/sineas, kecuali mungkin seorang Francois Truffaut.
Intinya, tonton film berdasarkan hasrat, tanpa harus terpengaruh "Rating" film, dengan hasil akhir yang memiliki resiko, baik maupun buruk.
Saya hanya memperhatikan "Rating" film, setelah saya tonton film nya itu sendiri, termasuk isi kritik atau review, hanya untuk belajar membandingkan dengan review saya sendiri.
Saya tidak peduli jika sebuah film yang saya sukai memiliki "Rating" buruk pada semua media dan juga berlaku sebaliknya.
Ketika Film Dijadikan Alat Politik Identitas
Ketika Film Dijadikan Alat Politik Identitas
Tampaknya era 2010'an, ada fenomena negatif dalam industri film khususnya Hollywood entah karena dampak globalisasi, perkembangan jaman dan teknologi, imigrasi, politik dan perang, serta isu kultur dan sosial.
Puncak nya terjadi pada tahun 2016 hingga Donald Trump menjadi presiden, saat kubu Sayap Kiri Jauh Ekstrim menjadi SJW (Social Justice Warrior) dengan segala kebencian dan playing victim.
Dalam beberapa tahun terakhir, hingga tulisan ini diperbaharui, tampak politik identitas semakin merajalela dalam Hollywood, melalui sejumlah waralaba film populer, sehingga perpecahan dalam tubuh penggemar antar generasi tak terhindarkan.
Politik identitas dalam waralaba film melalui jalur utama, terkait sejumlah isu seperti Diversity alias keberagaman ras/etnik/warna kulit atau agama, Gender Swap alias pertukaran gender terhadap karakter utama, hingga LGBTQ yaitu Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Queer.
Amerika Serikat yang memang terbuka bagi para imigran resmi, menjadi wajah baru di dunia modern, termasuk muncul karakter figur yang lebih variatif dalam film, sehingga kini tidak lagi didominasi oleh kulit putih saja.
Bagi penonton yang memiliki rasional dan logika waras, hal tersebut tidak menjadi persoalan, karena mengutamakan aspek penceritaan dan pengembangan karakter figur.
Penonton versus Kritikus
Penonton versus Kritikus
Narasi yang disampaikan berbagai media besar Amerika dalam promosi film baru, memicu kontroversi dan perang di media sosial, diantara penggemar dengan media dan pihak studio.
Ada kontradiksi signifikan dalam Rotten Tomatoes diantara penilaian kritikus dengan audience atau penonton, seperti Ghostbusters (2016), Star Wars: The Last Jedi (2017), serta Captain Marvel (2019).
Berbanding terbalik dengan penilaian terbaik dari penonton versus kritikus terhadap filmAlita : Battle Angel (2019), Shaft (2019), Rambo : Last Blood (2019), serta Joker (2019).
Saat ini sulit menemukan kritikus top netral, tanpa berpihak kepada studio atau berdasarkan akses media, serta tendensi politik identitas yang penuh dengan omong kosong, seperti yang ditelusuri pada ulasan di film Knives Out (2019).
Baca juga: Knives Out (2019): Film 'Whodunit' Bertendensi Politik Identitas
Baca juga: Knives Out (2019): Film 'Whodunit' Bertendensi Politik Identitas
Jika hal ini masih berlangsung, maka disarankan jika anda tetap berpatokan pada "Rating" sebelum tonton film, maka penilaian audiens lebih bisa diandalkan dalam Rotten Tomatoes, atau mungkin IMDB masih cukup relevan.
Meski demikian, hal itu tidak ada pengaruh kuat mengingat teknologi digital yang mudah dimanipulasi oleh sejumlah korporat alias studio besar.
Maka, jangan mudah terpengaruh "Rating" film saat ini, saya rasa sangat relevan dan faktual.
Comments
Post a Comment