Metropolis (1927): Figur Mediator Dua Dunia
Parufamet |
The Mediator between head and hands must be the heart!
Sinema fiksi ilmiah review Metropolis, film klasik tentang figur mediator yang menjembatani dua dunia.
Tagline di atas merupakan premis utama dari salah satu film fiksi ilmiah pertama yang mewarisi generasi selanjutnya hingga sekarang.
Metropolis mengisahkan saga epik petualangan seorang mediator yang bermula dari sebuah insiden menuju petualangan diantara dua dunia.
Film tersebut diproduksi oleh Jerman pasca Perang Dunia I dan berada dalam periode Weimar (Sistem Negara Federasi).
Metropolis mempengaruhi sejumlah film fiksi ilmiah legendaris dan dijadikan template standar dari berbagai aspek yang ada.
Sempat mengalami kerguan kritik pada saat penayangannya, Metropolis dalam periode film bisu dan menghabiskan biaya tinggi, dipengaruhi gaya akan aliran Jerman Ekspresionis.
Di tahun 2001 Metropolis masuk dalam UNESCO’s of the World Register.
Adapun narasinya berkisah tentang sebuah kota fiktif yang berada dalam masa depan distopia dengan mengambil sejumlah tema dari Injil, Kapitalisme, Fasisme, serta Komunisme.
Dikisahkan di bawah dasar kota Metropolis, terdapat sejumlah buruh yang bekerja mengoperasikan mesin demi keberlangsungan hidup kota dan penduduknya.
Sedangkan mulai dari dasar kota, menjulang berbagai menara gedung pencakar langit yang berisikan sejumlah penduduk kelas atas.
Adalah Joh Fredersen (Alfred Abel) adalah seorang penguasa sekaligus merupakan otak perencana kota.
Putranya bernama Freder (Gustav Fröchlich) yang hidup serba mewah, terkesima oleh kehadiran Maria (Brigitte Helm) yang mengajak sekelompok anak buruh menuju ke atas, guna melihat kehidupan elit.
Freder penasaran lalu menyusul Maria menuju ke bawah melewati sejumlah mesin raksasa, namun terjadi sebuah insiden yang menyebabkan mesin tersebut meledak.
Dalam delusinya, ia menyaksikan mahluk besar memerlukan sejumlah korban untuk ‘memakan’ manusia.
Parufamet |
Fredersen kemudian memecat asistennya Josaphat (Theodor Loos), karena tidak menginfokan sebuah ledakan dan terdapat sebuah map rahasia dari salah seorang buruh yang tewas.
Setelah berargumen dengan ayahnya, Freder diam-diam mendukung Josaphat, lalu bertukar identitas dengan salah satu buruh.
Adapun sang penemu yakni Rotwang berusaha membangkitkan kembali kekasihnya yakni Hel melalui bentuk robot.
Selain itu, diketahui bahwa map rahasia tersebut adalah sebuah Kotakomba kuno yang terletak di bawah Metropolis.
Dari hasil investigasi, maka upaya Fredersen adalah mencegah pemberontakan kaum buruh.
Lalu muncullah seorang mediator antara “Dunia Bawah” dengan “Dunia Atas”, dengan mengorbankan Sang Peramal untuk ditransformasikan menjadi robot.
Bagi anda yang tidak terbiasa menonton film bisu, persiapkan mood dan energi anda selama 2,5 jam.
Untungnya, teknologi terkini mampu mererstorasi film klasik tersebut melalui digitalisasi, baik visual maupun audio.
Disajikan dalam format hitam-putih, tanpa dialog sepatah kata pun, diiringi musik orkestra di sepanjang adegan dari awal hingga akhir.
Penampilan teatrikal semua aktor yang terlibat pun, bagaikan menyaksikan drama teater epik yang komplit dari sisi drama maupun aksi laga.
Premis akan kesenjangan diantara dua dunia, yakni kelas atas dan bawah yang diramalkan dengan munculnya sosok mediator heroik.
Meski demikian, seperti dalam tagline yang tertera di atas, saat ini memang terkesan klise.
Namun Metropolis mampu menyuguhkan sebuah alur yang menghantarkan audiens secara perlahan namun pasti.
Dimulai dari kelamnya “Dunia Bawah” yang memperlihatkan aktivitas para buruh bergaya robot atau zombie, hingga cerianya “Dunia Atas” yang penuh glamoritas dan kebahagiaan.
Parufamet |
Maria adalah figur kunci yang memicu motivasi Freder karena tergerak hatinya, untuk memulai sebuah petualangan yang baru terhadap apa yang sebenarnya terjadi.
Hanya saja sebuah insiden terjadi saat Freder berada di ruang mesin bawah tanah, maka di saat itulah rentetan peristiwa yang mempertanyakan ayahnya sendiri yakni Fredersen yang dianggap sebagai antagonis.
Secara keseluruhan, Metropolis memiliki sejumlah keunggulan mumpuni, yakni alur cerita yang sulit ditebak.
Apakah kisah filmnya berakhir dengan kebahagiaan atau malah ada tragedi, melalui rangkaian adegan yang cukup kompleks dan menarik.
Performa teatrikal para aktor/aktris yang impresif meski dialognya hanya tertera dalam teks, terkadang slapstick seperti pantomin, seperti menyaksikan aksi Buster Keaton atau Charlie Chaplin dalam figur Freder.
Adapun aktris Brigitte Helm tak kalah impresifnya dalam memerankan dua karakter yang kontras dengan meyakinkan.
Sedangkan figur The Thin Man yang merupakan mata-mata Fredersen, mengingatkan saya akan Frankenstein.
Figur Rotwang sesekali mencuri perhatian serta mampu menghadirkan aura misterius melalui mimik yang sinis.
Yang paling menarik yakni The Machine Man yang mengingatkan akan The Tin Man dari The Wizard of Oz dan mirip dengan 3CPO-nya Star Wars.
Sayangnya, The Machine Man tidak diberikan porsi lebih.
Beberapa adegan tertentu yang pergerakannya dipercepat serta aksi slapstick yang dilakukan beberapa figur, terkadang mengundang tawa kecil sesekali karena ada manfaatnya untuk menghindari kejenuhan.
Parufamet |
Aspek terunggul di film ini tentu saja set desain yang fantastis untuk era tahun 20’an, terutama dalam menghidupkan sebuah kota megapolitan jauh di masa depan.
Sejumlah gedung futuristik pencakar langit dilalui oleh berbagai jalan layang untuk kendaraan dan lintasan kereta, hanya saja beberapa pesawat yang melintas didesain secara kontemporer.
Bagaimana bisa membuat pergerakan dinamis lalu lintas kendaraan yang lalu-lalang tersebut?
Baca juga: Blade Runner (1982): Dampak Penciptaan 'Manusia'
Selain itu, adegan air yang membanjiri kota di bawah tanah tak kalah dahsyatnya, saat aksi Freder, Josaphat dan Maria menyelamatkan ratusan anak-anak mengungsi ke tempat yang lebih tinggi.
Efek spesial berupa kilatan cahaya dalam beberapa adegan tertentu, turut mewarnai kemegahan dalam format hitam-putih.
Metropolis adalah sebuah contoh dari salah satu film fiksi limiah kolosal pertama yang melibatkan ratusan bahkan mungkin ribuan figuran nyata, melakukan aksi dalam adegan tertentu menjelang akhir cerita.
Menyaksikan film ini harus bersabar dan menyediakan waktu khusus untuk menyimak sebuah saga petualangan.
Anda tidak bisa langsung mendengar dialog antara figur dan harus menunggu untuk membaca teks setelahnya.
Selain itu, biasakan telinga anda dijejali dengan scoring yang tanpa jeda terus eksis selama filmnya berlangsung.
Kisah tentang sosok mediator dalam upaya menjembatani dua dunia dalam sebuah kesenjangan, mampu dieksekusi secara elegan melalui Metropolis.
Film ini adalah sebuah warisan berharga fiksi ilmiah generasi awal.
Itulah sinema fiksi ilmiah review Metropolis, film klasik tentang figur mediator yang menjembatani dua dunia.
Score: 3.5 / 4 stars
Metropolis | 1927 | Fiksi Ilmiah, Petualangan | Pemain: Alfred Abel, Brigitte Helm, Gustav Fröchlich, Rudolf Klein-Rogge, Theodor Loos, Henrich George | Sutradara: Fritz Lang | Produser: Erich Pommer | Penulis: Berdasarkan novel Metropolis karya Thea von Harbou. Naskah: Thea von Harbou | Musik: Gottfried Huppertz | Sinematografi: Karl Freund, Gunther Rittau | Distributor: Parufamet | Negara: Jerman | Durasi: 153 menit (orisinal)
Comments
Post a Comment