The Bridge on the River Kwai (1957): Kegilaan Kerja Paksa Jembatan Jalur Kereta
Columbia Pictures |
“Madness! … Madness!”
Sinema perang review The Bridge on the River Kwai, kegilaan kerja paksa jembatan jalur kereta.
Pernyataan diatas mewakilkan dengan jelas, bagaimana kegilaan yang terjadi dari awal hingga akhir cerita.
The Bridge on the River Kwai menegaskan premis menarik, karakter kuat, hingga banyak adegan spektakuler dalam upaya perlawanan diplomatis terhadap kerja paksa pembangunan jalur kereta.
Perang Dunia II memang bersifat global, sejak berawal dari Benua Eropa menjalar menuju Afrika hingga wilayah Asia-Pasifik.
Era 50’an hingga 60’an melahirkan banyak film bertemakan peperangan tersebut secara berkualitas tanpa harus mengandalkan teknologi digital.
Film The Bridge on the River Kwai merupakan salah satu contoh yang mengambil tema Perang Dunia II di Asia-Pasifik, namun karena dieksekusi secara berkelas maka menjadi sebuah tontonan klasik unggulan.
Film ini menjadi yang terlaris di tahun perilisannya, dipuji kritikus, meraih tujuh piala Oscar, hingga masuk dalam National Film Registry.
Diadaptasi dari novel karya Pierre Boulle dan diperankan oleh sejumlah bintang besar, film gabungan produksi Inggris dan Amerika tersebut cukup kontroversial.
Duo penulis naskahnya sedang berada dalam daftar terlarang Hollywood dan diam-diam mereka mengerjakan proyeknya di Inggris.
Premis The Bridge on the River Kwai berdasarkan peristiwa nyata tentang pembangunan jalur kereta api di negara Burma antara tahun 1942 hingga 1943 yang dikuasai Jepang.
Dikisahkan para tawanan tentara Inggris yang dipimpin Kolonel Nicholson (Alec Guinness), tiba pada kamp tawanan Jepang di Burma.
Mereka sedang mengerjakan sebuah jembatan untuk jalur kereta api yang dipimpin Kolonel Saito (Sessue Hayakawa).
Columbia Pictures |
Nicholson bertemu dengan salah satu tawanan yang terlebih dahulu berada di kamp, yakni Komandan Angkatan Laut Amerika, Shears (William Holden) saat absen kerja paksa setelah menyuap kapten penjaga.
Nicholson menolak perintah Saito yang mewajibkan seluruh perwiranya untuk bekerja paksa membangun jalur kereta.
Ia menunjukkan bukti berupa Perjanjian Geneva, sehingga seluruh anak buah yang berpangkat bintara saja melakukan kerja paksa.
Atas penolakannya, Saito menaruh Nicholson ke dalam ruang hukuman bagi tawanan yang memberontak.
Pada malam harinya, Shears dan dua orang tawanan lain berupaya melarikan diri dari pulau tersebut, sementara yang lain tewas ditembak, ia berhasil kabur dengan perahu.
Depresi oleh batas waktu pengerjaan proyek karena lambatnya para pekerja, Saito harus mempertaruhkan harga diri.
Maka dalam peringatan perayaan kemenangan Jepang atas Rusia di tahun 1905, ia memberikan amnesti berupa pembebasan hukuman terhadap Nicholson dan sejumlah perwiranya.
Dalam kesempatan tersebut, Nicholson melobi Saito bahwa ia dan sejumlah perwiranya bersedia mengerjakan proyek jalur kereta tersebut.
Syarat yang ia ajukan yakni memimpin proyek yang dibantu oleh sejumlah perwira yang ahli dalam strategi perencanaan.
Mereka memiliki pengalaman saat berada di India, sementara para bintara mewujudkannya sebagai buruh.
Adapun seorang petugas medis yakni Mayor Clipton (James Donald) menentang Nicholson karena dianggap berkolaborasi dengan musuh.
Namun Nicholson meyakinkan dirinya bahwa pihak Inggris akan membuktikan, bahwa mereka bisa mempermalukan Jepang dalam membuat jembatan yang lebih baik.
Columbia Pictures |
Sementara di lokasi lain, Shears yang berhasil kabur kini beristirahat dan bersantai di sebuah rumah sakit pihak Inggris yakni Ceylon.
Hingga Mayor Warden (Jack Hawkins) memintanya untuk bergabung dan kembali menuju lokasi proyek jembatan guna meledakannya atas perintah pusat.
Dalam keadaan terdesak akan kekhawatirannya jika ia ketahuan dalam penyalahgunaan haknya sebagai perwira Amerika, Shears akhirnya bersedia bergabung.
Namun misi tersebut sesungguhnya menimbulkan sebuah kontradiksi dan pertentangan, sejak kedua pihak Inggris antara Nicholson dengan Warden, tampaknya bakalan menjadi kacau.
Selama hampir tiga jam lamanya, film The Bridge on the River Kwai sungguh memukau melalui penyajian utuh, baik dalam alur, adegan, dialog hingga sinematografinya.
Cerita film dibuka dengan hamparan hutan di sebuah pulau terpencil hingga sebuah kereta melewati jalurnya.
Lalu adegan menuju kepada kamp tawanan yang memperlihatkan, bagaimana tentara Sekutu kelelahan dalam penyiksaan kerja paksa oleh Jepang.
Hal paling menarik dalam film ini, tentu saja karakterisasi dan jalinan diantara tiga karakter utamanya yakni Nicholas, Saito serta Shears.
Sejak kedatangan pasukannya menuju kamp yang berbaris sambil bersiul melantunkan “Colonel Bogey”, Nicholas yang diperankan sangat baik oleh sang “Obi-Wan Kenobi” Alec Guinness terlihat berwibawa dan selalu mendapatkan respek dari seluruh anak buahnya.
Columbia Pictures |
Ia memiliki pendirian yang kuat dan gigih yang cenderung keras kepala atau bahkan bisa dikatakan ‘gila’, terkait perintah Saito membangun sebuah jembatan di atas sungai Kwai.
Ide dan prinsipnya yang heroik dan nasionalis, ia tunjukan kepada Jepang bahwa Inggris tidak mudah menyerah begitu saja.
Nicholson memiliki nilai tinggi akan harga diri dan martabatnya, maka inisiasi membangun jembatan tersebut bukan didasari atas sebuah perintah, tapi terkesan atas permintaan Jepang.
Akibatnya, terjadilah pro dan kontra bagi audiens dalam menilai tindakan Nicholas.
Di satu sisi ia menentang Jepang, namun di sisi lain ia diplomatis yang bakal mengalahkan musuhnya itu berdasarkan harga diri dan martabat.
Pembuktiannya atas perencanaan dan eksekusi jembatan dilakukan oleh Inggris, meski berada di bawah ancaman Jepang.
Sedangkan Saito memang dilematis dalam keadaan putus asa karena lambatnya progres pembangunan jembatan tersebut.
Jika gagal, maka hara-kiri atau bunuh diri ala Jepang menjadi solusi yang terbaik, daripada jatuhnya reputasi dan harga diri dari sebuah tugas yang diemban.
Dalam poin tersebut, Nicholas sesungguhnya telah memenangkan ‘pertempuran’ dengan Jepang, melalui pengambil-alihan proyek jembatan tersebut dari tangan Saito.
Adapun sejumlah alasan teknis yang mereka utarakan kepada Saito, tidak ada yang tahu apakah hanya akal-akalan saja atau sesuai ilmu di lapangan, guna mengalahkan Saito.
Lucunya, figur Shears adalah seorang oportunis dan anti-hero, menghindari lubang neraka kamp tawanan tersebut, saat mengelak dan menyanggah dalam dialognya dengan Warden.
Bahkan di awal kemunculannya, saat ia menyogok seorang kapten Jepang, telah terendus karakternya bakal seperti apa.
Columbia Pictures |
Film The Bridge on the River Kwai tampaknya memberikan porsi seimbang dalam perspektif kedua negara yang bermusuhan antara Inggris dengan Jepang.
Karakter Saito dieksploitasi akan sisi manusiawinya, begitu pula beberapa perwiranya.
Prinsip yang mereka terapkan terhadap para tawanan yakni: “Melakukan pekerjaan dengan bahagia”.
Namun prinsip itu terkadang menimbulkan polemik tersendiri dalam sebuah pembangunan negeri jajahan dan sistem kerja paksa terhadap tawanan militer.
Maka tiga figur yang berbeda satu-sama lain tersebut, begitu mewarnai narasi yang bakal memberikan sebuah kejutan besar di akhir cerita.
Misi yang dipimpin Warden dalam upaya menghancurkan jembatan, rupanya menjadi ‘kegilaan’ tersendiri yang ironisnya dibangun oleh kompatriotnya dalam hal ini, Nicholas.
Sineas David Lean mampu menyajikan visi megah terhadap jalan cerita melalui atmosfir yang pas.
Bagaimana suasana dalam kamp tawanan perang dan kerja paksa yang mereka lakukan di area jalur kereta, dan setting indah di Ceylon yang menyerupai resor serta markas militer Inggris di sebuah dataran tinggi, sungguh menarik.
Adapun perjalanan misi yang dipimpin Warden melalui pegunungan dan air terjun menuju jembatan, hingga upaya sabotasenya, juga mengesankan.
The Bridge on the River Kwai secara keseluruhan adalah salah satu yang terbaik dari berbagai elemen yang tersajikan tentang Perang Dunia II di Asia-Pasifik.
Film ini menghadirkan karakterisasi unggulan menuju sebuah konklusi akan kegilaan hasil akhirnya.
Demikian sinema perang review The Bridge on the River Kwai, kegilaan kerja paksa jembatan jalur kereta.
Score: 4 / 4 stars
The Bridge on the River Kwai | 1957 | Perang | Pemain: William Holden, Alec Guinness, Jack Hawkins, Sessue Hayakawa, James Donald, Geoffrey Horne | Sutradara: David Lean | Produser: Sam Spiegel | Penulis: Berdasarkan novel The Bridge on the River Kwai karya Pierre Boulle. Naskah: Carl Foreman, Michael Wilson | Musik: Malcolm Arnold | Sinematografi: Jack Hildyard | Distributor: Columbia Pictures | Negara: Inggris Raya, Amerika Serikat | Durasi: 161 Menit
Comments
Post a Comment