4 Film “Scream’ yang Wajib Anda Ketahui
Dimension Films |
Sinema horor, review empat film “Scream’ yang wajib anda ketahui, dimulai dari penyangkalan genre horor slasher.
Jenis horor tersebut mulai turun performanya di pertengahan 80’an, kian meredup menjelang memasuki dekade selanjutnya, hingga ‘mati’ di awal 90’an.
Hal itu berlaku pula bagi film horor secara umum, yang boleh dibilang langka untuk hadir di bioskop dalam jalur utama setiap tahunnya.
Sosok Wes Craven memang terbukti memberikan jaminan dalam revitalisasi horor slasher melalui film Scream.
Portofolionya sebagai salah satu sineas horor legendaris, mengingatkan kita semua akan waralaba A Nightmare on Elm Street, sebagai bentuk slasher dengan kombinasi horor supranatural, menghasilkan ikon Freddy Krueger.
Maka film Scream (1996) boleh dibilang sebagai merupakan “Generasi ke-2” horor slasher remaja yang kembali menjadi trendsetter kala itu.
Premisnya tidak jauh dari pembunuhan berantai yang meneror korban melalui telepon -serupa dengan Black Christmas (1974) dan When A Stranger Calls (1979)- sebelum membunuhnya.
Banyak konten yang tersaji dalam dialog yang merujuk terhadap waralaba dan ikon horor slasher legendaris.
Maka narasi film Scream boleh dikatakan sebagai satir atau bahkan parodi seolah semua figurnya berada dalam dunia nyata, sehingga filmnya disebut sebagai meta slasher.
Selain Craven, tentu saja sosok penulis Kevin Williamson yang bertanggung-jawab terhadap kesuksesan Scream yang kembali menggairahkan horor slasher remaja.
Akibatnya sejumlah film mulai mengikuti, seperti I Know What You Did Last Summer (1997), Urban Legend (1998), The Faculty (1998), Final Destination (2000) hingga beberapa lainnya.
Atas kesuksesan film Scream yang memunculkan ikon Ghostface, maka tiga sekuel berikutnya dirilis dalam waktu yag berdekatan, hingga sekuel terakhir berselang sebelas tahun.
Semua film disutradarai Craven dan ditulis Williamson, kecuali film ke-3 oleh Ehren Kruger, sedangkan trio Neve Campbell-Courteney Cox-David Arquette membintangi semua film Scream.
Baca juga: Scream (2022): Sekuel Teranyar Kembali ke Akarnya
Trio tersebut kembali dalam seri ke-5 dengan judul “yang sama” tanpa sub judul apapun yang rencananya akan tayang di Januari 2022.
Film Scream yang baru itu ditulis oleh James Vanderbilt dan Guy Busick, dengan sutradara Matt Beltinelli-Olpin dan Tyler Gillett, sepeninggal Craven yang wafat di tahun 2015.
Berikut empat film “Scream’ yang wajib anda ketahui beserta ulasannya:
Dimension Films |
Scream (1996)
Sebuah pembunuhan terhadap Casey dan kekasihnya, kembali menghebohkan warga kota Woodsboro.
Adalah Sidney (Neve Campbell) yang tinggal bersama ayahnya dan akan memperingati satu tahun kematian ibunya yang tewas dibunuh oleh terdakwa Cotton Weary yang merupakan kekasih gelapnya.
Sidney menunggu kehadiran sahabatnya, Tatum (Rose McGowan) untuk menemani dirinya yang ditinggal ayahnya karena urusan bisnis.
Tiba-tiba ia dihantui penelepon gelap yang dengan ancaman dan teror, mengindikasikan sang penelepon mengetahui kehidupan dirinya.
Sosok penelepon gelap yang merupakan sang pembunuh pun dengan mengenakan jubah dan topeng “Ghostface”, memasuki rumah Sidney dan menyerangnya.
Sidney sempat melawan, sebelum sosok tersebut melarikan diri.
Tuduhan pun muncul melibatkan petugas polisi Dewey (David Arquette), hingga jurnalis ambisius yakni Gale (Courteney Cox), terhadap kekasih Sidney yakni Billy (Skeet Ulrich) muncul di depan rumahnya.
Sementara ayah Sidney pun sempat menjadi tersangka setelah keberadaannya hilang.
Dimension Films |
Tak hanya itu saja, dua teman Sidney pun bisa saja menjadi terduga seperti Stu (Mathew Lillard) dan Randy (Jamie Kennedy). Maka, semua figur yang terlibat memiliki peluang yang sama!
Film Scream yang ditulis Kevin Williamson sungguh menyajikan hal yang berbeda dalam memanfaatkan momentum untuk kembali menggairahkan genre horor slasher.
Hal tersebut dilakukan dengan cara merujuk pada sejumlah ikon klasik yang berjaya di era 70’an dan 80’an lalu mati di era 90’an.
Keterlibatan sineas Wes Craven yang menyutradarainya pun semakin memperkuat narasi dan eksekusi Scream menjadi esensial dan mengkilap, meski sebenarnya adalah sebuah satir dengan bumbu dark comedy.
Salah satu keunggulan film ini juga terletak pada premisnya, terutama dalam menggali latar belakang keluarga sang figur utama Sidney Prescott, mengakibatkan audiens penasaran dengan terus mengikuti alur ceritanya.
Hanya saja figur Billy Loomis disajikan cukup klise melalui tatapan matanya.
Untung saja sebuah pelintiran dalam kejutan besar yang mungkin mampu membuat audiens syok dan pilu, hadir menjelang akhir cerita.
Seperti halnya membuat keseimbangan terhadap adegan pembuka yang menghadirkan aktris yang telah populer duluan yakni Drew Barrymore.
Ciri khas dari horor slasher tentunya berisikan jajaran aktor/aktris baru yang masih segar dan belum menjadi bintang besar, kecuali Drew Barrymore dan juga bintang sitkom Friends, Courteney Cox.
Karakterisasi Sidney yang diperankan Neve Campbell mampu mencuri perhatian, sejak performa yang cenderung naif sekaligus tangguh, memberikan impresi kuat akan standar yang harus dipenuhi horor slasher agar menarik.
Dimension Films |
Adapun figur Dewey sepertinya merupakan sosok penegak hukum yang digambarkan bergaya ‘kartun’ sehingga mudah menjadi korban.
Sedangkan Gale adalah sosok yang egois dan menyebalkan, serta figur Stu dengan segala tingkahnya yang meriah atau Randy yang cupu.
Film Scream mampu memanipulasi audiens, terhadap siapa yang akan menjadi korban pertama dan siapa yang terakhir bertahan hidup atau bahkan yang tidak mati sekalipun, karena memang sulit ditebak.
Craven juga memparodikan karyanya sendiri yakni A Nightmare on Elm Street selain dalam dialog.
Ada juga adegan yang memperlihatkan seorang petugas kebersihan sekolah mengenakan sweater bergaris merah-hijau dengan topi fedora, serta penampilan figur Billy mengingatkan sosok Johnny Depp.
Oh ya, nama belakang Billy yakni “Loomis” mengingatkan saya akan figur Dr. Loomis dalam Halloween, selain juga dalam rujukan dialog serta adegan yang memutar filmnya melalui pesawat televisi di kediaman Stu.
Sejumlah adegan jump scare di film ini memang berbeda seperti kebanyakan film horor modern, terkadang pas sekaligus menyebalkan.
Beberapa adegan kematian dalam film Scream disajikan terasa monoton dan juga sekilas seperti Wes Craven’s A New Nightmare (1994), karena lebih realistis dalam dunia meta cinema.
Maka tipikal film seperti Scream tidak perlu ada sekuel, karena rasanya bakal membosankan jika seorang manusia psikopat siapapun juga bisa melakukan aksi pembunuhan dengan mengenakan atribut “Ghostface”.
Tapi di sisi lain, rasa penasaran juga timbul terhadap tiga sekuel berikutnya, terhadap premis dan pengembangan cerita yang terjadi.
Apakah tetap menarik dengan menyajikan elemen suspens yang kuat. atau malah semakin menjenuhkan?
Score: 3.5 / 4 stars
Dimension Films |
Scream 2 (1997)
Sidney (Neve Campbell) yang kini kuliah di Windsor College, kembali dihantui oleh sosok pembunuh berantai yang mengenakan atribut Ghostface.
Hal itu terjadi setelah dua mahasiswa kampusnya tewas dibunuh, saat menonton film Stab, yang terinspirasi dari peristiwa di Woodsboro.
Sejumlah jurnalis pun menghampiri Sidney yang sedang berada di kampus bersama dengan sahabatnya, Hallie (Elise Neal), Randy (Jamie Kennedy), kekasihnya Derek (Jerry O’Donnel) dan sahabat Derek yakni Mickey (Timothy Olyphant).
Dewey (David Arquette) datang untuk menawarkan perlindungan kepada Sidney.
Sementara Gale (Courteney Cox) datang untuk menjembatani Sidney dengan Cotton (Liev Schreiber) sang tertuduh telah pembunuh ibunya dan kini bebas dari penjara, malah membuat situasi lebih runyam.
Ketakutan Sidney pun menjadi nyata saat terjadi pembunuhan di kampus tersebut, yang hampir menimpa dirinya pada saat bersama dengan Derek.
Dimension Films |
Maka investigasi polisi pun diperumit dengan keterlibatan Dewey dan Gale yang saling memiliki intrik satu-sama lain.
Tema balas dendam mungkin sudah menjadi standar biasa dalam naskah sekuel horor, tak terkecuali Scream 2 yang cukup mengejutkan dalam menyingkap figur sang pembunuh di luar dugaan.
Pengembangan karakter figur sentralnya, yakni Sidney cukup baik sebagai seseorang yang masih trauma namun semakin tangguh, termasuk merubah penampilannya lebih segar dan terkesan badass.
Demikian pula pasang-surut hubungan antara Dewey dengan Gale yang semakin kuat chemistry-nya, semula kembali saling tidak suka namun akhirnya kembali lagi kompak dalam menghadapi sang pembunuh.
Keterlibatan figur Cotton pun menimbulkan tanda tanya besar, berdasarkan latar belakang misterius atas peristiwa masa lalu, serta motivasi apa yang hendak dicapainya.
Gaya penyajian di film ini terasa menambahkan lebih elemen dark humor dengan sedikit komedi. Entah kejutan apa lagi yang bakal terjadi dalam sekuel berikutnya.
Score: 2.5 / 4 stars
Dimension Films |
Scream 3 (2000)
Seorang detektif bernama Kincaid (Patrick Dempsey) menghubungi Gale (Courteney Cox) terkait tewasnya Cotton (Live Schreiber) dan kekasihnya di Hollywood.
Gale pun kembali bertemu dengan Dewey (David Arquette) sebagai penasihat teknis dalam pembuatan film Stab 3 yang berdasarkan pembunuhan Ghostface.
Ternyata figur yang mengenakan atribut Ghostface kembali beraksi dan menewaskan salah seorang aktris yang terlibat dalam film tersebut.
Sang pembunuh pun berhasil melacak keberadaan Sidney (Neve Campbell) yang kini hidup terisolasi.
Karena teleponnya terlacak dan kembali diteror oleh Ghostface, Sidney memaksa dirinya menuju Hollywood melalui Kincaid, sekaligus bertemu kembali dengan Dewey dan Gale.
Ghostface yang sesungguhnya mengincar Sidney, mulai melakukan beberapa aksi pembunuhan terhadap kru film Stab 3.
Pola cerita semakin jelas, bahwa sekuel film Scream terkesan memaksakan bahwa figur Sidney harus terlibat dalam lingkaran nya sendiri.
Film Scream 3 bagi saya pribadi juga menegaskan tipikal “whodunit” dengan gaya slasher. Cukup meriah dan semakin menjadi sebuah parodi.
Maka kejenuhan pun kerap menghampiri saat menonton filmnya, kecuali sejumlah jump scare yang juga cenderung semakin kacangan, memang mengejutkan sekaligus menyebalkan.
Score: 1.5 / 4 stars
Dimension Films |
Scream 4 (2011)
Dalam rangka 15 tahun peringatan pembantaian di Woodsboro, dua gadis remaja tewas dibunuh oleh Ghostface.
Sidney (Neve Campbell) kembali ke kampung halamannya guna mempromosikan buku terbarunya, namun rupanya ia dijebak sebagai tersangka pembunuhan.
Dewey (David Arquette) kini menjadi kepala polisi, kembali menginvestigasi hal tersebut, sementara sang istri, Gale (Courteney Cox) kesulitan mendapatkan ide untuk buku fiksi berikutnya.
Pembunuhan yang dilakukan oleh Ghostface melibatkan sejumlah remaja yakni tiga sahabat Jill, Olivia, serta Kirby, duo fanatik film horor yakni Charlie dan Robbie, serta mantan kekasih Jill yakni Trevor.
Rentang waktu sekuel 11 tahun sebenarnya cukup menarik untuk trio Sidney-Dewey-Gale tampak semakin solid dengan problemanya tersendiri, sedangkan sejumlah figur remaja tersebut menegaskan perbedaan kultur yang lebih modern.
Penyelesaian cerita Scream 4 kembali dipaksakan sebesar 180 derajat, melalui berbagai aksi yang semakin absurd, juga figur Sidney yang terasa kurang meyakinkan dalam menghadapi sang pembunuh.
Selain itu, penggunaan lensa dengan efek soft, cukup aneh dan tidak biasa.
Kesimpulannya terhadap semua sekuel Scream adalah: Siapapun bisa menjadi sosok Ghosftace, karena ia hanya manusia biasa.
Lain halnya dengan figur horor ikon yang memang hanya memiliki satu identitas sendiri.
Score: 1 / 4 stars
Demikian sinema horor, review empat film “Scream’ yang wajib anda ketahui, dimulai dari penyangkalan genre horor slasher.
Comments
Post a Comment