Review Joko Anwar's Nightmares and Daydreams: Semesta Revolusioner Horor Negeri Sendiri
Come and See Pictures, Netflix |
Sinema fantasi misteri review Joko Anwar's Nightmares and Daydreams, tentang semesta revolusioner horor negeri sendiri.
Kisah horor revolusioner negeri sendiri akhirnya terwujud melalui film Joko Anwar's Nightmares and Daydreams.
Joko Anwar's Nightmares and Daydreams adalah serial yang telah tayang di jaringan Neflix Indonesia sejak 14 Juni 2024.
Nighmares and Daydreams merupakan buah karya horor revolusioner dari sineas Joko Anwar, mengawali musim perdana sebanyak tujuh episode.
Baca juga: Head to Head: Pengabdi Setan 1981 vs 2017
Hingga saat ini dalam masa modern, belum ada film horor revolusioner "out of the box" seperti Joko Anwar's Nightmares and Daydreams.
Buruknya kualitas perfilman horor nasional atau di negeri sendiri meski ada beberapa yang laris manis, karena mungkin belum siap untuk maju.
Selain menuliskan naskahnya Joko Anwar, juga membuatkan tema musik dan lagu sekaligus menyunting film nya sendiri melalui kolaborasi bersama kru.
Sebanyak tujuh episode, hanya yang pertama dan terakhir disutradarai sendiri oleh Joko Anwar.
Secara garis besar, cerita Joko Anwar's Nightmares and Daydreams yaitu tentang ancaman berupa entitas jahat terhadap manusia.
Terdapat tujuh alur cerita yang berdiri sendiri, perlahan hingga akhirnya dipertemukan dalam satu tujuan khusus.
Adapun timeline atau garis waktu untuk setiap episode, tidak berurutan alias acak melalui karakter figur berbeda dan asing satu sama lain.
Di bawah ini adalah urutan episode Joko Anwar's Nightmares and Daydreams dengan cerita lokasi di Jakarta, mulai yang terburuk hingga terbaik.
Come and See Pictures, Netflix |
Episode 2 "The Orphan"
kisah tahun 2024, saat pasangan suami istri hidup melarat jadi pemulung, suatu hari Iyos (Yoga Pratama) terobsesi untuk mengadopsi anak.
Sebelumnya, Iyos mengetahui hal itu dari seseorang yang tadinya miskin kini kaya raya, tewas di hari ketujuh setelah mengadopsi anak tersebut.
Meski awalnya ditentang sang istri, Ipah (Nirina Zubir), akhirnya mereka nekat karena terlilit hutang.
Mereka sudah bersiap pada hari ketujuh nanti untuk antisipasi dari sang anak tersebut yang mereka anggap "anak iblis".
Meski awalnya berjalan mulus karena anak tersebut memang mendatangkan kekayaan, namun rangkaian persitiwa berikutnya berakhir dengan cara yang berbeda.
Episode ini adalah yang paling membosankan dan standar dalam sajian, terlalu dibumbui drama kering.
Meskipun dalam episode ini, penyelesaian konflik dieksekusi melalui cara yang tak pernah disangka.
Come and See Pictures, Netflix |
Episode 1 "Old House"
Tahun 2015, Panji (Ario Bayu) adalah supir taksi dengan penghasilan rendah yang tinggal bersama istri dan anak nya.
Sang ibunda Panji tinggal bersama mereka, namun mengidap kejiwaan sehingga membahayakan nyawa anak Panji dan istrinya.
Akhirnya sang ibu terpaksa dititipkan ke sebuah panti jompo untuk mendapatkan perawatan.
Namun demikian, perasaan Panji gelisah dan bersalah karena keputusan yang ia buat bersama sang istri.
Saat hendak menjemput sang ibu, Panji menemukan rahasia mengerikan dalam panti tersebut.
Sesungguhnya, premis cerita ini menarik dan mampu dibangun dengan meyakinkan melalui gaya suspens thriller apik.
Nilai plus ide cerita ini berada dalam pengungkapan melalui sebuah pelintiran besar layaknya inspirasi dari serial Netflix's Stranger Things ataupun semesta film Phantasm.
Tak lupa juga hal klise lain yang hadir tentu saja yang relevan terhadap kultus dan filosofi orang tua dengan anak.
Sajian efek visual CGI serta digital matte mengganggu suasana dan lingkugan, serta intensitas yang sedang berlangsung.
Come and See Pictures, Netflix |
Episode 6 "Hynotized"
Tahun 2022, Ali (Fchri Albar) yang buta warna sedang kesulitan mendapatkan pekerjaan, sementara harus terus menghidupi keluarganya.
Dalam keadaan putus asa, ia tergoda untuk menggunakan ilmu hipnotis atas pengaruh sang tetangga.
Suatu malam di depan mesin ATM, Ali berhasil melakukan hipnotis terhadap seorang ibu sehingga berhasil mendapatkan uang.
Sejak saat itu, perilaku dan peringai istri dan kedua anak nya menjadi beda dan berbahaya.
Horor psikologis dalam episode ini cukup mengesankan meski meninggalkan lubang alur cerita.
Narasi ini sulit untuk berpijak pada landasan dasar yang kuat, alih-alih bermain ruang ilusi dan fantasi melalui eksploitasi kejiwaan.
Untung saja episode ini cukup impresif berkat performa Fachru Albar yang tampil maksimal.
Come and See Pictures, Netflix |
Episode 4 "Encounter"
Tahun 1985, Wahyu (Lukman Sardi) adalah nelayan yang hidup dalam komunitas yang tengah berada dalam ancaman penggusuran.
Obsesi Wahyu hanya satu, ingin bertemu dengan sang ibu yang telah meninggalkan dirinya saat masih kecil.
Suatu malam saat bunyi petir bergemuruh, ia mendapatkan penglihatan akan "malaikat" dan sempat memotret nya.
Wahyu adalah seorang penyendiri bersama sang istri, sering dirundung oleh salah satu nelayan yang temperamen.
Sejak menjadi saksi penglihatan malaikat, komunitas tersebut menganggap Wahyu adalah seorang "nabi", menantikan solusi besar yang mereka hadapi terhadap penggusuran paksa.
Episode ini memiliki kekuatan cerita dan karakterisasi yang mengagumkan sekaligus paling santai dan pantas dinikmati.
Humor dan guyonan segar episode ini memberikan angin baru dan berbeda, termasuk klaim pemanggilan "Ustad" dan sejumlah tingkah dan gaya bicara terhadap salah satu figur yang mereka "hormati".
Tentu saja performa watak meyakinkan Lukman Sardi sepertinya selalu jadi favorit banyak orang.
Sangat disayangkan sajian kejutan di akhir cerita terkesan seperti tontonan aksi laga fantasi dengan gaya komik.
Come and See Pictures, Netflix |
Episode 7 "P.O. Box"
Setting waktu masa kini tahun 2024, saat Valdya (Asmara Abigail) belum bisa merelakan kepergian sang kakak.
Ia terus berupaya mencari tahu nasiba sang kakak yang hilang setelah berangkat wawancara kerja.
Sampai rela mengorbankan hubungan dirinya dengan sang kekasih, Valdya akhirnya menemukan kembali lowongan pekerjaan di surat kabar.
Alamat lowongan tersebut sulit dilacak, sejak tercantum nomor "P.O. Box", membuat dirinya nekat melamar sekaligus menyelidiki tempat misterius itu.
Namun apa yang ia alami kemudian adalah puncak horor yang mengerikan.
Tentu saja ini adalah episode finale, mengingat Joko Anwar's Nightmares and Daydreams adalah standar formula antologi yang mempertemukan (hampir) semua alur sebelum nya.
Elemen suspense horor dan thriller episode ini dieksekusi lebih intens dan dinamis, terasa melalui pace yang lebih cepat.
Pereda ketegangan ada dalam adegan dialog dalam sebuah lift, lengkap dengan humor sarkas yang bakal membuat kamu tertawa lepas.
Sepertinya juga ada aspek "MacGuffin" terhadap sebuah pin berwarna emas yang dimiliki wanita misterius dalam awal cerita, seperti halnya dalam Episode 3.
Come and See Pictures, Netflix |
Episode 5 "The Other Side"
Perjuangan Bandi (Kiki Narendra) yaitu mendapatkan pekerjaan yang lebih baik daripada melukis banner film bioskop.
Bersama sang istri, Dewi (Sita Nursanti), mereka dikaruniai seroang putra dalam keluarga hidup harmonis meski finansial kekurangan.
Saat hari sudah gelap, Bandi membeli obat untuk Dewi di apotek, namun sempat mampir ke bioskop terbengkalai tempat dirinya saat ia dulu kerja.
Seperti dalam adegan The Shining (1980), Bandi kembali disambut sang manager biskop untuk kembali bekerja menjadi penyobek tiket karcis.
Ingat akan Dewi, ia bergegas pulang keesokan pagi, namun disambut syok oleh mereka, karena sudah berlalu dua tahun dan ia sendiri dianggap sempat hilang sebelumnya.
Kejadian itu terulang saat hendak membeli rokok setelah makan malam di luar besama Dewi dan putra mereka.
Kali ini kepulangan Bandi bertahun-tahun lamanya, hingga Dewi menikah kembali dan putra mereka sudah besar.
Konsep lintasan dimensi ruang dan waktu dalam episode ini memang menarik dan mampu beradaptasi melalui drama yang kuat.
Ikatan harmonis hubungan Bandi dengan Dewi sudah memiliki chemistry kuat dan alamiah, serta ikatan emosional sangat terasa menjelang akhir cerita.
Episode ini adalah yang paling menyentuh untuk sisi manusiawi dalam hubungan dan ikatan batin yang kuat.
Aksi pamungkas memang mengejutkan, namun eksekusi disajikan ala tipikal horor laga modern yang bikin saya geleng kepala.
Come and See Pictures, Netflix |
Episode 3 "Poem and Pain"
Tahun 2022, saat Rania (Marissa Anita) seorang penulis fiksi yang gagal dalam penjualan novel terbarunya.
Atas saran seorang sahabat sekaligus sang penerbit yaitu Hendra (Restu Sinaga), ia melanjutkan kisah novel terdahulu yang laris manis.
Rania mengalami kebuntuan, dan kemudian terungkap bahwa dirinya bukanlah yang menulis novel laris itu, setelah alami dampak fisik sesuai cerita.
Akhirnya kejadian sama terulang kembali melalui kontak misterius yang akan menyingkap peristiwa tragis sesuai inspirasi cerita fiksinya itu.
Melalui suspens horor solid, episode 3 dalam Joko Anwar's Nightmares and Daydreams ini adalah yang terbaik dan impresif, dari sajian cerita hingga eksekusi.
Penonton akan dibuat penasaran besar dibalik misteri yyang belum jelas di pertengahan cerita, apakah ada hal supranatural atau fenomena lain terhadap figur Raina.
Pengembangan cerita dibangun secara halus melalui serangkaian bocoran perlahan dan tersusun rapih.
Perspektif figur Raina seakan seperti dalam film Eyes on Laura Mars (1978) atau setidaknya ada petunjuk mendekati film Last Night in Soho (2021).
Perlahan, elemen konspirasi mulai terasa meski belum jelas tujuan dan motivasi dibalik cerita nya itu.
Come and See Pictures, Netflix |
Secara keseluruhan sesuai judul film, Joko Anwar's Nightmares and Daydreams disajikan dalam ranah surealis dan sedikit ambigu, hal yang langka dalam perfilman nasional.
Film mini seri ini adalah revolusioner dan jadi pendobrak untuk mampu wujudkan kisah misteri lintas genre dengan tema tidak biasa dan anti basi.
Tak heran, jika para pemeran utama film ini kebanyakan adalah artis senior dan matang melalui performa akting.
Ambisi Joko Anwar melalui film ini patut mendapatkan apresiasi karena saya anggap revolusioner, meski semesta dunia lain belum jelas terungkap.
Joko Anwar's Nightmares and Daydreams mungkin saja terinspirasi dari campuran antar film serupa seperti In the Mouth of Madness (1994), Dreamcatcher (2003), bahkan hingga karya H.P. Lovecraft.
Harap maklum penggunaan efek mahal CGI, set desain dan green screen di negeri sendiri berujung kepada biaya dan nilai tukar mata uang.
Pertanyaan selanjutnya mungkin ada dalam Season 2, mengenai eksistensi para protagonis dan penjelasan rinci entitas antagonis film ini, jika Season Perdana ini berhasil.
Dibalik kekurangan nya film Joko Anwar's Nightmares and Daydreams setidaknya menarik perhatian publik akan kisah cerdas dan kompleks dalam semesta horor revolustioner negeri sendiri.
Itulah sinema fantasi misteri review Joko Anwar's Nightmares and Daydreams, tentang semesta revolusioner horor negeri sendiri.
Skor: 3 / 4 stars
Comments
Post a Comment